Oleh : Emma Elhira
Beberapa minggu belakangan ini kita sering sekali mendengar berita tentang tawuran. Dari zaman ke zaman seolah tawuran tak pernah ada matinya ya gaes.. Setiap tahun ajaran baru selalu disertai berita tentang tawuran.
Pokok permasalahan tawuran biasanya juga diawali hal yang sepele. Kadang hanya sekedar ajakan dari kakak kelas yang punya masalah pribadi dengan si A yang beda sekolah. Atau terkadang tiba-tiba digiring alumni kesuatu tempat untuk melakukan tanding kekuatan ala gladiator. Si anak baru malah kadang nggak tahu apa-apa. Ujug-ujug suruh berkelahi.
Urusan sepele, tapi jadi masalah besar. Kapan tradisi tawuran antar pelajar ini berhenti? Berbagai cara sudah dilakukan pihak sekolah juga aparat serta warga setempat untuk menanggulangi masalah tersebut. Tapi hingga hari ini persoalan remaja tersebut tak pernah menemukan titik temu pemecahannya.
Remaja Galau Mencari Jati Diri.
Pada umumnya remaja memang selalu punya ghiroh yang kuat untuk mencari jati dirinya. Ingin diakui keberadaan dan eksistensinya dikalangan teman-teman sebayanya. Hanya saja memang kadang salah jalan untuk menyalurkan hasrat tersebut.
Yang utama memang pengawasan orang tua dirumah dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya. Tidak sepenuhnya menyerahkan pengawasan pada pihak sekolah. Sebab sekolah juga tidak bisa sepenuhnya mengawasi dengan banyaknya anak didik juga pekerjaan lainnya yang butuh juga perhatian. Jadi tetaplah orang tua yang ramah anak, dekat dengan anak, bisa jadi teman sekaligus sahabat dekat tempat mereka mencurahkan segala kegelisahan. Jangan abai apalagi tak peduli.
Pihak sekolah tetaplah punya kontrol pada anak-anak didiknya. Memahami karakter anak satu persatu juga penting sebab, dengan demikian pihak sekolah bisa mengenali bakat anak per anak. Hingga bisa menyalurkan energi anak didiknya kepada hal yang positif. Tidak hanya sekedar transfer ilmu. Sebab sejatinya sekolah bukan sekedar ajang transaksional antar murid dan guru. Sebaiknya seorang pendidik puny kepekaan dan kedekatan emosional lebih baik. Karena hampir lebih dari setengah hari anak-anak berada disekolah dan berinteraksi.
Lantas siapa yang perlu dipersalahkan jika tawuran tetap terjadi, sedang upaya sudah cukup maksimal dalam mencegah terjadinya tawuran? Sistem pendidikan yang beorientasi sekuler yang jadi biang keladi permasalahan yang terus menjerat para remaja. Tidak adanya ketaatan individu yang kemudian membuat anak tak pernah merasa bersalah saat melakukan tindakannya. Kurangnya pengawasan dari lingkungan yang membuat anak merasa apa yang dilakukannya adalah benar. Mendiamkan saat mengetahui anak-anak sedang mempersiapkan rencana untuk melakukan aksi tawurannya. Membiarkan saat mengetahui anak-anak menitipkan senjata tajam pada warung terdekat. Tidak melaporkan pada pihak terkait saat tahu anak-anak sudah mulai melakukan perkelahian. Jika terjadi korban dan mulai terasa meresahkan barulah bertindak.
Kesalahan Sistem Pendidikan Sekuler.
Yang paling patut dipersalahkan dalam hal ini adalah sistem. Sistem pendidikan sekuler yang diterapkan sekolah. Tak menjadikan akidah dan ketaatan pada Allah SWT sebagai penuntun dalam melakukan sesuatu. Agama seolah pelajaran no sekian yang tak perlu diterapkan. Terbukti, kurikulum hanya menyediakan ruang dan waktu yang sedikit porsinya untuk pelajaran tersebut. Membatasi pelajaran agama hanya sebatas ilmu saja. Tanpa penerapan. Materi pelajaran agama yang selingkup ibadah-ibadah mahdoh saja yang dipelajari. Tanpa penekanan ketaatan dan keyakinan pada Sang Pencipta.
Jadi wajar, jika pelajar tak memahami kewajibannya sebagai pengemban dan penerus risalah yang Allah tanggungkan pada pundaknya. Mereka sejatinya tak memahami jati dirinya sebagai sebaik-baik umat. Generasi yang seharusnya mempunyai daya juang berjihad yang tinggi. Sebagai generasi Islam yang visioner, produktif, kreatif dan inovatif. Jadi generasi penerus peradaban yang dibanggakan oleh Rasulullah yang kelak bisa sebagai pemuda yang dapat menaklukan kota Roma.
Masya Allah.
Wassalam.