Oleh: Ria Asmara
.
"Yang biasa bawa kopi kita ke senayan keterima kerja di bank. Njok piye kopi kita ini. Kita jual sendiri ke Jakarta po?" Sambil deleg-deleg Nafisah curhat padaku.
.
Waktu itu, membayangkan jarak tempuh Lampung Jakarta rasanya cukup jauh. Butuh waktu semalaman di jalan. Awang-awangen rasanya. Tapi aku tak tega melihat tumpukan kopi yang sudah dikemas rapi di sudut kamar kost Nafisah. Mau diapakan?
.
Ditambah lagi, kalau jualan kopi disudahi bagaimana nasib skripsi kami. Terbengkalai. Teronggok karena dananya mogok. Ujung-ujungnya menambah susah orang tua. Tak tega. Untuk biaya hidup kami sehari-hari di kost saja, kadang mereka harus ngutang dulu ke tetangga. Dibayarnya nunggu tanggal muda.
.
Tak ada pilihan lain. Demi duit. Dan tak kuat lihat orang tua tambah sulit. Kami nekad ke Jakarta sendiri. Pasar sudah ada, sayang disia-siakan.
.
Jumat sore sepulang ngampus, kami berkemas. Menyiapkan beberapa dus kopi. Dan beberapa peralatan: rak sepatu bongkar pasang empat susun warna biru. Dispenser air panas yang juga berwarna biru. Serta satu rol cup puding.
.
Jam 20.00 WIB. Kami sudah duduk manis di dalam bus Damri tujuan gambir. Deg-deg kan. Bayanganku tetaplah Jakarta itu jauh. Wajah senayan pun aku tak pernah tau kecuali dari layar sempit TV hitam putih ku.
.
Sabtu subuh, kami sampai di Gambir. Mushola kebetulan tidak jauh dari pol Damri. Setelah salat subuh dan meluruskan punggung sejenak. Kami segera melangkah ke Gelora Bung karno (GBK). Tak tau arah sebetulnya. Hanya modal tanya sana sini dan mengikuti arus orang berjalan saja.
.
Begitu sampai di pagar GBK. Aku nggumun. Bengong. Plonga plongo. Tempat olah raga kok gede banget. Subuh-subuh sudah ramai orang berolahraga dan jualan. Mbokde-mbokde pake jarik dan kebaya khas orang jawa berseliweran nggendong senek. Isinya macam-macam. Ada yang bakulan nasi pecel, nasi urap. Tenda-tendapun berjajar rapi di pinggir pagar, ada yang menyediakan tempe mendoan, gudeg Jogja, soto betawi dan lainnya. Pemandangan yang menggelitik lidah. Bikin laper.
.
Tak mau kalah dengan pedagang lain. Kami gesit mencari tenda yang menjual air panas untuk menyeduh kopi. Setelah semua siap, kami masuk ke dalam pagar, tempat lalu langang orang-orang yang berolahraga. Dispenser dan kopi tersusun rapi di atas rak sepatu disamping kami.
.
Layaknya cewek-cewek SPG yang sedang menawarkan mobil baru di mall. Kami cerewet menawarkan kopi seduh di cup-cup kecil sebagai tester. Yang sudah nyicip, ahirnya kepincut. Mengorek isi kantong, membeli kopi bubuk kami.
.
Sekitar jam 08.00 WIB, satu persatu pengunjung menyudahi olah raganya. Senayan mulai sepi. Kami berkemas. Menitipkan peralatan ke pedagang tenda yang menetap di situ. Lanjut bersih-bersih badan dan sarapan.
.
Setelah rapi dan wangi. Kami mencari metro mini arah Tanah Abang. Berburu dagangan untuk dibawa pulang. Tak butuh waktu lama untuk membuat empat tas parasut kami gendut. Bahkan over load, reslitingnya pun nyaris jebol. Berat. Karena tak sanggup menenteng ke sana sini. Kami titipkan tas di pedagang terahir tempat kami belanja. Kami bersantai sejenak di mushola hingga azan Ashar berkumandang.
.
Beres menjamak salat zuhur dan ashar, kami tinggalkan Tanah abang. Abang bajai mengangkut kami ke Gambir. Segera kami beli tiket Damri dan boking bagasi. Setelah empat tas gendut aman di bagasi. Kami tinggalkan pol Damri karena keberangkatan masih jam delapan malam nanti. Sesaat kami bermanja di kaki monas, nyeruput indahnya monas dimalam hari. Kelap-kelip lampu dan keriuahannya mampu membasuh peluh dan mengurai lelah.
.
"Pahlawan! pahlawan!" Suara kondektur bus mengacaukan mimpi. Dia menyebut-nyebut gang tempat kost ku. Kami sampai kembali di bumi ruwai jurai. Jalanan masih gelap. Azan subuh baru saja berkumandang. Kami menuju kost. Tergopoh-gopoh. Terseok-seok. Menenteng tas parasut gendut. Berat tapi harus kuat. Duit! duit! duit! skripsi! skripsi! skripsi! kata-kata itu menjadi pelecut semangat kami. Strong girls must go on.
.
Setelah si gendut di bongkar, kerudung dagangan berhamburan. Teman-teman di kost mulai cental cencil di depan kaca. Nyobain kerudung yang mereka suka. "Ini cocok untuk ibuku, bulekku, kakakku, adekku, ponakanku!" Celoteh teman-teman rame. Sebagian dari teman-teman kost inilah yang kemudian menjadi reseller dagangan kami.
.
Rutinitas ini terus menggelinding saat weekend. Hingga ahirnya, dengan izin Allah skripsiku selesai. Skripsi bersampul kuning khas Fakultas Ekonomi. Yang sebagian sampul dan isinya bisa kucetak dari hasil wanginya kopi.