Sistem Zonasi Mengubur Mimpi Di Sekolah Idaman


Oleh : Nayla Sosro

 ( Revowriter central Borneo )

 El, seorang siswa menengah pertama (SMP) di kota Blitar, Jawa Timur nekat bunuh diri  karena diduga tidak bisa masuk ke sekolah favorit yang ia idamkan, setelah terkendala sistem zonasi ( Merdeka.com ).

"Kenapa nama saya di seluruh SMK NTB tidak ada? Jujur NEM saya lebih tinggi dari teman saya yang diterima itu..." kata salah seorang warganet.

"Ngapain belajar. Mending pindah rumah dekat sekolah yang diinginkan. Teman-teman saya yang pintar, NEM di atas 300, kalah sama yang NEM-nya 130, rumah dekat sekolah yang dipilih," keluh yang lain.

Komentar di atas merupakan salah satu dari sekian banyak komentar  yang membanjiri  akun Instagram Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bebrapa waktu yang lalu ,  yang berisi  keluhan  calon siswa dan orangtua terhadap penyelenggaraan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) 2018.

Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB ) 2018 berbeda dengan tahun  sebelumnya,  pada tahun ini mengacu pada peraturan terbaru tentang PPDB yakni. Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, yang mengatur tentang sistem zonasi yang mulai diterapkan tahun ini. 

Dikutip dari akun instagram resmi Kemendikbud @kemdikbud.ri dan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai sistem zonasi dalam PPDB 2018 , salah  satunya, sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda) wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

Ini artinya siswa hanya boleh bersekolah di sekolah yang radiusnya tidak jauh dari rumah siswa tersebut, jika sekolah yang dekat dari rumahnya itu sesuai dengan yang di inginkan anak dan orang tuanya ( sekolah negeri dan favorit juga ), tentu  tidak jadi masalah, malah akan menjadi berkah, orang tua tidak perlu  susah payah mencarikan tambahan  untuk  biaya sekolah yang semakin tahun tidak murah, biaya transportasi si anak ( yang tak jarang orang tua harus menyediakan motor untuk  kesekolah karena mahalnya biaya angkot ), uang jajan dan lain sebagainya.

Namun bagaimana jika sekolah yang menjadi impian mereka, tak terujud, hanya karena terkendala sistem zonasi?, meskipun tidak menuntup kemungkinan masih bisa bersekolah di sekolah favorit, meski lokasinya jauh dari rumah, jika kuota yang di sediakan masih ada, jika tidak ada, maka bersiaplah untuk mengubur mimpi, agar dapat bersekolah di sekolah yang di impikan.

Tak dapat di pungkiri, saat ini sekolah negeri masih menjadi magnet tersendiri bagi orang tua, karena biaya di sekolah negeri cukup terjangkau dari semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Apalagi sekolah negeri yang favorit tentu akan sangat menjadi incaran mereka.

Pro dan kontrapun bermunculan menanggapi sistem zonasi ini menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), terdapat  empat kelemahan sistem PPDB yang membuatnya harus dirombak total atau setidaknya diperbaiki di banyak aspek.

"Masalah itu berupa munculnya jalur Surat keterangan tidak mampu (SKTM ), disebutkan kalau SMA/SMK/sederajat harus menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu sebesar 20 persen dari kuota. Untuk membuktikan itu perlu lampiran SKTM dari orangtua peserta didik yang diterbitkan pemerintah. 

Masalah kedua berkaitan dengan perpindahan tempat tinggal tiba-tiba. FSGI menemukan kasus, salah seorang siswa menumpang nama di Kartu Keluarga saudaranya, demi bisa bersekolah di salah satu sekolah di daerah itu. Dengan kata lain, sistem zonasi bisa dikelabui.

Masalah ketiga  kewajiban menerima 90 persen calon siswa yang tinggal di lokasi dekat sekolah. Di lapangan, hal ini membuat sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga biasanya ada di pusat kota sepi peminat. 

Masalah keempat ketika di satu sisi ada sekolah yang kekurangan siswa, di sisi lain ada sekolah yang kelebihan peminat karena ada berada di zona padat ( Republika.co.id )

Mereka yang pro, menurut sekretaris PPDB SMPN 15 yogyakarta, Rimawati menjelaskan, dengan adanya sistem zonasi ini menjadi tantangan baru bagi pihak sekolah, kususnya guru,  karenakan siswa yang masuk adalah mereka yang memiliki nilai USBN beragam, dari yang tinggi hingga yang rendah ( tribun Jogya ).

Kita menyambut baik niat Mendibud Muhajir Efefndy yang ingin menerapkan sisten zonasi ini, dan kegaduhan ini mungkin tidak akan terjadi, jika pemerataan sekolah  berkualitas itu terjadi, baik dari sistem pembelajaran, pendidiknya, fasilitas yang memadai, bangunannya, biaya yang terjangkau dll, orang tua tentu tidak akan pusing- pusing memikirkan biaya tambahan setiap awal tahuna ajaran  baru,  dengan  dana yang tak sedikit, plus persiapan transportasi anak, jika saja sekolah yang murah dan berkualitas itu merata. Tentu  tak perlu bermain curang dengan memalsukan data, status sosial dll.

Negaralah pemilik tanggung jawab terbesar agar pendidikan murah dan berkualitas, dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarkat. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah pendidikan, sebagaimana ketika peradaban Islam dulu berjaya, pendidikan bebas bea yang bermutu, dari tingkat dasar hingga menengah, akan di sediakan untuk seluruh warga negara,  tanpa terkecuali, agar bersekolah di sekolah  impian, tidak hanya menjadi mimpi semata.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak