Oleh : Dwi Andar
Perayaan tahunan di bulan Agustus sudah mulai dirasakan masyarakat. Umbul-umbul, lampu, baliho bertebaran menghiasi jalan raya dan kampung-kampung. Perlombaan pun digelar. Mulai lomba tarik tambang, panjat pinang, balap karung, kelereng hingga makan kerupuk.
Euforia warga dengan nuansa kemerdekaan, menyisakan pertanyaan dalam benak. Benarkah kita sudah meraih kemerdekaan hakiki?
Kemerdekaan Dalam Konteks Individu, Masyarakat dan Negara
Individu yang merdeka ialah seseorang yang bersikap dan berperilaku didasarkan atas pertimbangan rasional. Bagi orang yang beriman, pertimbangan rasionalnya adalah ketika ia menyandarkan segala perbuatannya kepada aturan Allah SWT (Fahmi Amhar, 2001). Berkaitan dengan makna ini, Imam Ali r.a mengambarkan dengan sebuah analogi yang tepat: "Seorang budak beramal karena takut hukuman, pedagang beramal karena menginginkan keuntungan dan orang merdeka beramal karena mengharap keridhaan dari Allah SWT.”
Dalam konteks masyarakat, kemerdekaan adalah ketika mereka tidak lagi menjadi pengikut pola fikir, budaya bahkan agama para penjajah. Masyarakat yang merdeka memiliki pola fikir, budaya dan agama yang khas yang membedakan mereka dari masyarakat lain (Fahmi Amhar, 2001). Dalam hal ini, masyarakat Madinah bisa dijadikan cerminan masyarakat yang merdeka secara hakiki. Semula persatuan masyarakat dibangun di atas landasan kesukuan yang sangat rapuh dan sering memunculkan pertikaian dan perselisihan di antara suku Aus dan Khazraj. Namun, pasca hijrahnya Rosul saw, pertikaian terselesaikan dan justru kaum Anshar menerima persaudaraan dari kaum Muhajirin. Sebuah ukhuwah indah sebagai buah dari manisnya ikatan aqidah, menggantikan ikatan kesukuan yang rendah. Aqidah dan tradisi jahiliyah warisan nenek moyang yang penuh tahayul dan khurofat (cerita dongeng), berganti menjadi aqidah Islam yang rasional dan bernilai luhur.
Pun juga dengan potret sebuah negara merdeka. Negara yang merdeka adalah yang terbebas dari penjajahan baik secara fisik, politik, ekonomi juga budaya. Negara tersebut bebas menerapkan aturan dalam melindungi rakyatnya. Tidak dalam tekanan dari negara lain. Entah akibat jeratan utang atau memang posisi inferior di kancah internasional.
Kemerdekaan hakiki vs kemerdekaan semu
Tak terasa sudah 73 tahun kemerdekaan dirayakan. Berulang pemilu digelar. Tiap pemilu, berharap ada perubahan. Namun, masyarakat nampaknya tetap gigit jari. Tetap berkutat dengan masalah hidup yang menghimpit. Para pejabat tinggi hadir hanya di saat masa kampanye. Saat masyarakat kesulitan dengan harga-harga barang yang melambung tinggi, tak ada uluran tangan membantu. Mahalnya biaya pendidikan, serentetan tagihan dan pajak membebani perekonomian keluarga.
Derita ibu tak cukup sampai di sini. Masa depan generasi sudah di ujung tanduk. Tawuran berujung maut dan budaya seks bebas mengancam para remaja. Terasa penjajahan gaya baru dengan nilai-nilai kebebasan yang jauh dari ketakwaan.
Negara yang masih bergantung pada impor, rupiah terjajah dolar, kekayaan alam dikuras asing, hukum tebang pilih, potret penjara mewah adalah bukti bahwa negeri ini tak sepenuhnya merdeka. Penjajahan fisik memang tidak ada. Namun penjajahan gaya baru dengan masuknya nilai-nilai liberalisme dan kapitalisme , mampu memporakporandakan masa depan negeri.
Islam Wujudkan Kemerdekaan Hakiki
Rasulullah saw pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi:
"...Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)." (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).
Kemerdekaan hakiki hanya akan terwujud ketika manusia menghamba kepada Allah SWT. Artinya, Islam menghendaki agar manusia benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman, perbudakan oleh manusia. Islam datang untuk membebaskan manusia dari kesempitan dunia akibat penerapan aturan buatan manusia menuju kelapangan dunia (rahmatan lil alamin).
Sebaliknya, Islam pun memperingatkan bahayanya ketika manusia masih kukuh dengan aturan dari Allah SWT. Sebagaimana dalam firmanNya:
"Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta." (TQS Thaha [20]: 124)
Walhasil, berbagai kesempitan yang dirasakan negeri ini akibat dicampakkannya aturan Allah dalam kehidupan. Dalam suasana kemerdekaan, hakikatnya negeri ini masih "terjajah". Maka satu-satunya cara mewujudkan kemerdekaan hakiki adalah dengan menerapkan syariat Islam, baik di level individu, masyarakat bahkan negara.
Dengan modal kemerdekaan atas bangunn aqidah Islam inilah, bangsa ini akan mampu menjadi bangsa yang terdepan dan memimpin peradaban. InsyaAllah.