Oleh.Tety Kurniawati
( Anggota Akademi Menulis Kreatif)
Tak ada yang bisa memungkiri bahwa cinta adalah perasaan luar biasa yang tumbuh dalam hati manusia. Emosi berenergi tingkat tinggi yang mampu mendorong pemiliknya melejitkan potensi. Dijadikan indah setiap apa yang dipandang dari yang dicintai. Hingga ia buta dan mampu mempersembahkan apa saja demi sang pemilik hati.
Begitupun halnya ketika cinta itu bersemi atas seorang hamba terhadap Robb-nya. Lisannya akan senantiasa basah oleh dzikrullah. Rindu untuk senantiasa di dekat-Nya. Bersegera melaksanakan perintah-Nya dan senantiasa beramal mengharap ridha-Nya. Benci terhadap apa yang dilarang dan diharamkan Allah. Senantiasa bersyukur atas karunia-Nya. Rela berkorban apapun demi cintanya, bersungguh-sungguh dalam beramal dan taat kepada-Nya. Selalu memendam kerinduan yang besar untuk segera melihat-Nya.
Inilah cinta yang sesungguhnya. Cinta yang ditunjukkan para kekasih dijalan-Nya. Cinta yang tak pernah habis dikisahkan dari masa ke masa. Seperti halnya cinta yang melatarbelakangi turunnya syariat qurban. Cinta yang mewujud dalam bingkai ketaatan.
Kisah di Balik Qurban
Syariat qurban berawal dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Kala itu, nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih putranya yang tengah menginjak usia remaja bernama Ismail. Maka disampaikanlah perihal mimpi tersebut kepadanya putranya. Nabi Ibrahim berkata: " Ya bunayya, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka katakanlah apa pendapatmu". Nabi Ismail menjawab " wahai abbati, kerjakanlah segera apa yang diperintahkan kepadamu. Insyallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar".
Sungguh episode cinta yang elok antara hamba dengan Robb-Nya. Hingga saat Allah memerintahkan, hanya ketaatanlah sebagai jawaban. Ketika keduanya telah berserah diri dan Nabi Ibrahim membaringkan putranya untuk menjalankan perintah Allah. Nyatalah kesabaran dan kecintaan keduanya. Maka ditebuslah nabi Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Allah pun berkenan mengabadikan untuk nabi Ibrahim dan Ismail pujian yang baik di kalangan orang-orang yang datang kemudian ( Q.S Ash shoffat : 99-108)
Esensi Makna Qurban
Dalam bahasa arab, qurban berasal dari kata qaraba, semakna dengan kata karib dalam bahasa Indonesia yang berarti dekat. Maka pesan sentral dari qurban adalah upaya pendekatan diri kepada Allah. Hari raya Qurban merupakan refleksi atas catatan sejarah rentang perjalanan kebajikan manusia di masa lalu. Sarat akan keteladanan Nabi Ibrahim yang mampu mentransformasikan pesan ketaatan ke prilaku nyata dalam kehidupan.
Secara normatif hari raya qurban menyiratkan makna kepedulian, persatuan, cinta kasih umat Islam juga menjaga kesucian. Kesucian disini diartikan dengan mengqurbankan kehendak dan sifat-sifat kebinatangan serta potensi fujur dalam diri seorang muslim. Hingga akan terefleksi dalam prilaku mereka potensi-potensi ketaqwaan. Sebagaimana firman Allah, " Darah dan daging qurban itu sama sekali tidak dapat mencapai ( keridhoan) Allah, tetapi ketaqwaan kamulah yang dapat menggapainya" (QS. Al Hajj : 37).
Hari raya qurban juga menjadi simbol keluasan ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin di muka bumi. Agama yang tak sekedar mengajarkan kompetensi spiritual namun juga kompetensi sosial. Dimana kaum muslimin diajarkan untuk bisa berempati tidak hanya pada kebahagiaan namun juga terhadap kesedihan saudaranya. Maka qurban adalah saat berbagi kebahagian dengan sesama.
Lewat qurban, kita belajar untuk melepas kecintaan terhadap segala perhiasan dunia. Sekalipun jika konsekuensinya adalah siap kehilangan orang yang paling kita cinta. Seperti halnya dalam kisah nabi Ibrahim dan Ismail. Terkait hal ini, Dr. Quraish Shihab menyatakan bahwa tidak terjadinya penyembelihan Ismail ini merupakan bukti pengorbanan manusia tidak dikehendaki oleh Allah. Karena yang harus dibunuh adalah sifat-sifat kebinatangan yang tumbuh subur dalam diri manusia. Hal ini sekaligus memberi isyarat besarnya kasih sayang Allah terhadap manusia ( Mizan, 1996 : 413).
Qurban, Momen Rekonstruksi Ketaatan
Carut marut problematika bangsa, mulai dari kemiskinan yang kian mendera, kesejahteraan yang hanya dinikmati segelintir orang saja, hutang negara yang menggunung banyaknya, jurang kesenjangan sosial yang kian menganga, pengusaan SDA oleh asing dan aseng, gizi buruk yang terjadi di Papua, kelaparan yang sempat melanda Maluku Tengah, musibah gempa lombok yang butuh perhatian seksama. Sejatinya adalah peringatan Sang pengusa alam raya. Akan kelalaian semua elemen bangsa akan spirit Idul Adha. Komitmen untuk selalu bersandar pada kebenaran hakiki. Keengganan tuk tunduk dengan aturan Illahi serta masih tingginya syahwat duniawi.
Oleh karena itu sudah sepatutnya kaum muslim menjadikan hari raya qurban sebagai momen rekonstruksi ketaatan baik secara individu maupun nasional. Dengan menjadikan halal haram sebagai standar mutlak perbuatan. Hingga secara makro mewujud dalam kerelaan kumulatif untuk tunduk dan taat terhadap aturan Allah dalam segala aspek kehidupan. Meninggalkan semua hukum jahiliyah buatan manusia dan menjauhi segala adat istiadat nenek moyang yang nyata-nyata bertentangan syariat-Nya. Mengembalikan wewenang membuat hukum kepada Sang pencipta alam semesta. Sedang secara mikro mewujud nyata adanya idrak shillah billah dalam tiap amalan. Konsekuensinya, ridho dan ampunan-Nya senantiasa jadi tujuan. Hingga rahmatan lil alamin akan mewujud nyata dalam kehidupan. Wa allahu a'lam bish showab.