Penolakan Nabi Atas Jalan Kepemimpinan Quraisy


Oleh: Arin RM, S.Si

(Member TSC, Frelance Author)

Dari sirah nabawiyah didapati banyak pelajaran penting akan perjalanan dakwah Nabi. Sebuah perjalanan dalam rangka membangun hukum syariat Islam. Dari sirah ini pula diketahui bahwa Muhammad kala itu mendapatkan wahyu dalam kondisi beliau sedang sendirian di puncak gunung. Wahyu yang bermakna kepemimpinan atas umat ini diterimanya tatkala tidak berada di kerumunan manusia. Secara simbolis menunjukkan bahwa kepemimpinan untuk syariat Islam ini tidaklah menginginkan pangkat di dunia. Yang diinginkan hanya ridha Allah. Tidak memerlukan kedaulatan atas manusia, karena yang diperlukan hanyalah pengabdian kepada Allah. Tidak membutuhkan kesaksian manusia, sebab yang dibutuhkan hanyalah keikhlasan semata dari mereka yang akan mengimaninya.

Sunnatullah bagi para Nabi bahwa jalan mengemban dakwah akan mendapatkan perlawanan dari mereka yang merasa terancam akan keberadaan syiar tauhid. Oleh karenanya bendera dakwah hanya diberikan kepada manusia pilihan, amanah kenabian hanya disampaikan kepada yang layak menurut Allah. Maka Nabi Muhammad pun juga mengalami perlawanan akan dakwahnya, bahkan sejak awal ketika beliau mulai melebarkan seruan dakwah kepada masyarakat di Makkah.

Penyebaran Islam waktu itu sangat diawasi. Sebab Islam menyebar di kalangan Quraisy dan penduduk Makkah lainnya dengan sangat cepat. Islam membakar kekufuran di tengah masyarakat, kemudian di atasnya abu bakaran tersebut disemaikan benih keimanan. Di kemudian hari benih ini kian tumbuh menjulang menjadi pokok iman yang kokoh. Tentu hal ini sangat meresahkan pembesar setempat yang ajaran dan kekufurannya tergoncangkan oleh konsep keimanan Islam.

Orang Quraisy kemudian memanfaatkan paman Nabi, Abu Thalib untuk meredam dakwah Nabi Muhammad. Mereka menjadikan Abu Thalib sebagai mediator agar nabi menghentikan aktivitasnya dengan memberikan imbalan apapun asalkan bukan mengganti ideologi yang selama ini dipegang turun-temurun. Namun, keyakinan Nabi akan kebenaran ideologi Islam menjadikan darinya meluncur kalimat “Wahai pamanku, demi Allah, walaupun mereka menaruh matahari di sebelah kananku dan bulan di sebelah kiriku supaya aku meninggalkan urusan (agama) ini, niscaya sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya, sampai Allah memenangkan agamanya atau aku binasa karenanya.” (HR Muslim, dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dalam al-Maghazi (Sirah Ibnu Hisyam) dengan sanad dari Ya’qub bin Utbah bin al-Mughirah bin al-Akhnas)

Keteguhan Nabi atas ideologi Islam dengan menolak tawaran kekuasaan versi Quraisy menunjukkan bahwa kepemimpinan yang diamanahkan kepada Nabi adalah kepemimpinan yang berbeda. Kepemimpinan yang benar-benar menjadikan Islam sebagai master konstitusi, bukan kepemimpinan yang diciptakan dan diberikan oleh musuh-musuh Islam. Bukan pula kepemimpinan yang mengharuskan Nabi tunduk pada aturan turun temurun yang mengakar kuat di kalangan musuh, yang menjadikan siapapun di dalamnya sekedar pelaksana pelanggeng aturan itu. Bukan pula hakikat kepemimpinan yang manis di pencitraan, namun hakikatnya memusuhi apa yang sedang beliau dakwahkan. 

Nabi tentu menyadari bahwa menerima kepemimpinan versi Quraisy  akan menjadikan posisinya tidak berdaulat penuh, tidak akan bisa sempurna menjalankan ideologinya. Oleh karenanya, penolakan Nabi menunjukkan betapa kuatnya tujuan dakwah, menyampaikan kebenaran bukan dalam rangka berkuasa di bawah ketiak musuh, namun membangun kekuasaan mutlak berbasis Islam. 

Nabi tetap meniti jalan Islam dengan terus melakukan pembinaan dan pengkaderan untuk melahirkan individu-individu yang meyakini fikrah dan metode Islam. Selanjutnya para kader ini akan diterjunkan ke masyarakat untuk berinteraksi dengan umat agar umat turut memikul kewajiban dakwah, sehingga akan menjadikannya sebagai masalah utama dalam hidupnya, serta berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Setelah itu daulah Madinah terbentuk, dimulailah penerapan Islam secara utuh serta menyeluruh, lalu mengembannya sebagai risalah ke seluruh penjuru dunia.

Dari perjalanan Nabi mencapai kekuasaan, dapatlah disimpulkan bahwa Islam berkuasa dengan jalan tidak masuk pada jebakan politis Quraisy. Islam tidak berkompromi dengan yang menduakan Allah dalam urusan membuat aturan. Dalam konteks saat ini, berupaya menerapkan Islam tidaklah bisa dengan masuk ke jalan yang dibuat demokrasi kapitalis. Dimana secara realitas, demokrasi jelas menggunakan kekuatan akal manusia untuk dijadikan aturan. Maknanya jalan demokrasi pun tidak menggunakan aturan Allah layaknya pendahulunya kaum Quraisy di masa lalu.

Maka sangat wajar jika ulama pun ada yang menolak tawaran kekuasaan ala demokrasi. Sebutlah UAS. Pasca sejumlah ulama dan GNPF pun mengadakan ijtima di Jakarta, 27-29 Juli 2018, beliau dicalonkan sebagai cawapres yang akan mendampingi Prabowo Subianto dalam pilpres 2019. (Kiblat.net, 30/07/2018). Namun, sebagaimana headline dari hidayatullah.com (29/07/2018), UAS menolak halus direkomendasikan jadi cawapres. Dari Instagram @ustadabdulsomad (29/07/2018), beliau justru mengapresiasi bahwa pasangan PS-HSA adalah pasangan yang tawazun. Beliau menegaskan keputusannya dengan tulisan " Biarlah saya jadi suluh di tengah kelam, setetes embun di tengah sahara. Tak sungkan berbisik ke Habib Salim, tak segan bersalam ke jenderal Prabowo."

Apa yang dipikirkan ulama sekaliber beliau tentu bukan hal yang sepele. Terlebih, sekaliber UAS yang hafal Al-Qur’an dan Hadist tentunya mengerti betul akan kepemimpinan menurut Islam. Apa mungkin beliau mau menjalankan hukum-hukum yang tidak bersumber dari wahyu tatkala duduk di kekuasaan pemerintahan? Apa mungkin bersedia meratifikasi regulasi aturan global internasional yang berasal dari Barat yang jelas-jelas bersumber dari aturan kafir? Maka sangat tepat bila arah dukungan kepemimpinan atasnya diarahkan untuk mengikuti jejak Nabi saja. Mewujudkan kepemimpinan dengan Islam kaffah, bukan dengan jalan demokrasi. [Arin RM].


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak