Oleh : Pipit Agustin
(Akademi Menulis Kreatif Regional Jatim)
Angka 73 tahun tentu bukan angka belia untuk kategori usia, termasuk usia suatu negara. Namun gelora untuk tetap hidup merdeka harus terus membara. Indonesia boleh bertambah usia, namun tak boleh menjadi renta, melemah tak berdaya. Apalagi menghadapi era serba modern, termasuk penjajahan atau dikenal dengan sebutan neoimperialisme. Penjajahan yang senyatanya ada tetapi tak kasat mata.
Diantaranya dalam hal tata kelola Sumber Daya Alam (SDA). Pengelolaan SDA Indonesia saat ini melampaui kata prihatin. Semua mata sehat dapat melihat bagaimana tambang emas di Grasberg Papua dikeruk oleh perusahaan raksasa Amerika dengan seenaknya. Sejak beroperasi di Indonesia pada tahun 1961, melewati tiga rezim sekaligus, tingkah polah Freeport selalu menang sendiri. Indonesia sebagai pemilik sah wilayah Papua selalu tak berdaya menghadapi pelanggaran yang dilakukan Freeport. Diantaranya dalam divestasi saham, pada Kontrak Karya (KK), antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah Indonesia pada tahun 1991, PTFI wajib melakukan divestasi saham hingga 51% kepada pihak Indonesia secara bertahap selama 20 tahun. Sampai tahun 2011, baru 9,36% saham PTFI yang sudah didivestasikan ke pemerintah. Hingga tahun 2018, Freeport tak menunjukkan itikad baik. Saham pemerintah tetap saja 9,36% meski waktu sudah berjalan 10 tahun sejak pemerintah menetapkan aturan. Bahkan perusahaan itu sempat mengancam akan mengadukan pemerintah Indonesia ke arbritasi internasional pada tahun 2017, namun rencana ini diurungkan.
Perusahaan tersebutpun berani mengabaikan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Padahal itu adalah kewajiban yang tertulis secara jelas dalam kontrak karya. (Media Umat edisi 223).
Neoimperialisme Nyata
Semua harus membuka mata bahwa perkara bercokolnya Freeport tak bisa dilepaskan dari praktik politik imperialisme. Sistem kapitalisme membuka gerbang selebar-lebarnya bagi sesiapa yang memiliki modal termasuk perusahaan multinasional untuk mengelola hingga merampok kekayaan alam negeri ini. Pergerakan bisnis yang ditopang oleh negara, menjadikan perusahaan seperti Freeport semakin kuat.
Sementara disisi lain, pemerintah Indonesia tak luput dari atmosfer sistem kapitalis nan liberal ini. Hal ini nampak dari sejumlah kebijakan seperti mengundang asing untuk turut berinvestasi di Indonesia.
Menurut Syafi'i Ma'arif, Asing kuasai 80% tanah di Indonesia (Paluekspres 12/5/2017). Sementara itu Amin Rais mengatakan bahwa Asing kuasai 74% lahan di Indonesia (detik.com/28/3/2018). Ini merupakan implementasi liberalisasi investasi yang semestinya tidak boleh terjadi. Pasalnya, semakin kran investasi asing itu dibuka lebar, kehidupan rakyat justru jauh dari kata sejahtera. Padahal semestinya potensi SDA Indonesia itu berdampak sejahtera bagi bangsa Indonesia.
Tiga rezim berlalu, namun sistem tatakelola SDA tetap bernafas liberalisme. Penguasaan asing atas SDA mendapat legalitas lewat UU atas nama penanaman modal. Akibatnya, asing dan swasta leluasa mengelola SDA hingga menentukan kebijakan distribusi dan harga. Rakyat gigit jari sebab negara bermetamorfosis menjadi saudagar, rakyat sebagai pelanggan.
Problem akut neoimperialisme ini harus dilawan sebagaimana kolonial dahulu.
Selama sistem kapitalisme dijadikan landasan mengatur tata kelola SDA negeri, selama itu pula imperialisme terus mencengkeram negeri.
Untuk itu, mendesak dibutuhkan sistem pengganti yang mampu menghadapi sistem yang ada, serta pemimpin yang pemberani dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Dengan itu, bangsa ini benar-benar merdeka dan leluasa mengelola SDA . Adakah pemimpin demikian di era kekinian?