Oleh: Hamsina Halik
(Member Revowriter)
Tak terasa negeri ini sudah 73 tahun merdeka sejak dideklarasikannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 silam. Berangkat dari semangat juang yang kuat dan pengorbanan yang tak ternilai. Taruhan nyawa tak jadi soal, demi sebuah kebebasan dari penjajah kolonial Belanda. Ingin terlepas dari penjajahan fisik yang mendera, kerja paksa yang meremukkan badan, perampasan sumber daya alam yang menyengsarakan, kehormatan dan harga diri diinjak-injak lebih hina dari hewan sekalipun. Slogan; Merdeka atau Mati! Telah menghunjam dalam dada para pejuang. Sebuah harga mati yang tak bisa ditawar lagi.
Kini, selama 73 tahun itu, tak ada lagi penjajah kompeni. Tak ada lagi kerja rodi. Tak ada lagi yang mendiskriminasi hak-hak kita. Ya! Kita sudah bebas. Adanya perayaan tahunan berupa menghias lorong-lorong atau jalan-jalan utama dengan umbul-umbul dan bendera. Mempercantiknya dan indah dipandang. Juga mengadakan perlombaan-perlombaan seperti panjat pinang, makan kerupuk, lari karung, dan kawan-kawannya. Katanya, sebagai rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Katanya, sebagai pemupuk rasa persatuan dan kesatuan antar masyarakat. Katanya, agar mampu meresapi makna kemerdekaan dan memahami bagaimana para pejuang mati-matian melawan penjajah dahulu kala.
Sungguh meriah menyambut perayaan tujuhbelasan ini. Dari pelosok desa hingga perkotaan. Dari anak-anak hingga dewasa. Dunia nyata maupun dunia layar kaca. Beberapa suguhan film perjuangan kemerdekaan menghiasi layar kaca. Harapannya, semangat nasionalisme dan patriotisme itu semakin mengakar dalam jiwa tiap rakyat negeri ini. Sehingga, persatuan dan kesatuan di seluruh Nusantara terwujud.
Tradisi ini sudah melekat kuat sehingga seolah tak boleh dilewatkan. Meskipun diluar sana, kondisi negeri kita dalam keadaan yang sulit. Kekayaan alam yang tidak dikelola sendiri. Kemiskinan yang semakin meningkat. Musibah datang silih berganti mendera negeri ini. Label merdeka untuk negara ini pun dipertanyakan.
Merdeka Itu
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, merdeka dimaknai sebagai bebas/dari penghambaan, penjajahan dsb; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat; tidak bergantung pada orang atau pihak tertentu; dan leluasa. Maka, lepas dari berbagai bentuk penjajahan dan penghambaan manusia dan manusia lainnya, baik secara fisik maupun dalam bentuk ekonomi, sosial politik dan budaya, inilah merdeka yang sebenarnya. Jika, ada yang merasa belum terlepas dari bentuk penjajahan diatas itu artinya belum merasakan kemerdekaan. Masih diatur oleh yang lain. Belum bebas bergerak, mengambil keputusan sendiri dan berbuat.
Melihat definisi diatas, tentu kita yakin bahwa sejak dibacakannya teks proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945 silam negara ini sudah merdeka dari penjajahan secara fisik. Lalu, benarkah sekarang benar-benar bebas dari penjajahan secara ekonomi, politik dan budaya?
Secara ekonomi, negeri kita masih menganut sistem ekonomi kapitalis liberal. Ini produk buatan barat. Maka, kebijakan ekonomi kita pun tunduk dibawah tekanan lembaga keuangan internasional macam IMF. Terjadilah, pengerukan besar-besaran sumber daya alam kita dengan dalih sebagai investor.
Namanya kapitalis tentu semua dinilai dengan materi/modal. Para investor ini punya modal besar untuk berinvestasi, maka muncullah sumur-sumur minyak yang dikuasai oleh asing, perusahaan raksasa minyak dari asing. Sebut saja, Exxon/Caltex, Atlantic Richtfield/Arco, Mobil Oil. ConocoPhilips, British Petroleum dll. Mereka dapat untung besar, negeri kita cuma dapat buntungnya saja. Sungguh miris!
Secara budaya, pemikiran liberal sekuler dan budaya barat telah berhasil meracuni generasi. Remaja disuguhi segala macam bentuk hiburan dan kebebasan. Bebas berpakaian, bertingkah laku, gaul tak ada batasan, agama tak lagi jadi sandaran hidup mereka. Ancaman seks bebas dan hidup hedonis membidik remaja. Kehancuran generasi muslim nyata di depan mata. Ketahanan akidah terkikis oleh pemikiran sekuler barat. Halal haram sebagai standar dalam berbuat tergeser oleh asas manfaat. Melalui ajang pencarian bakat, kehormatan dan kemuliaan seorang muslimah tergerus. Ajang pamer aurat tak jadi soal.
Pendidikan yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat, ternyata sepenuhnya tidak demikian. Hanya orang-orang borjuis yang punya kesempatan mengenyam dunia pendidikan. Orang miskin? Jangan tanya, mereka lebih memilih menghabiskan waktunya mencari pundi-pundi demi sesuap nasi. Ah, untuk makan saja bagi mereka sangat sulit apalagi jika harus mencari lagi untuk biaya pendidikan yang super mahal itu.
Beberapa poin diatas menunjukkan kepada kita bahwa negeri ini belum benar-benar merdeka. Dengan kata lain, masih dijajah dalam bentuk pemikiran dan budaya. Sayangnya, semua raport merah ini dianggap sebagai sebuah kebanggaan. Diperjuangkan, dipertahankan dan berusaha agar mampu mewarnai negara, masyarakat dan orang disekitar kita. Bangga bahwa budaya barat telah memberikan sumbangsih besar atas kreatifitas para pemudanya. Memiliki pengaruh yang kuat akan kemajuan generasinya.
Raih Kemerdekaan Hakiki
Dalam Alquran terdapat kata al hurr/at-tahrir tidak jauh berbeda dengan istilah merdeka. Maknanya terkait dengan pembebasan budak dari cengkaraman majikannya. Adapun kemerdekaan hakiki adalah terlepasnya manusia dari menghamba sesama manusia kemudian berkhitmat dan tunduk hanya kepada Allah SWT, menjalankan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Menjadikan aturan-aturanNya sebagai aturan hidup.
Idealnya, negara merdeka itu tidak hanya bebas dari penjajahan fisik saja. Tetapi juga, terbebas dari tekanan negara-negara penjajah dalam bentuk pemberian utang tapi tujuannya untuk menguras kekayaan alam. Bebas dari jeratan utang luar negeri yang mencekik leher. Bebas mengelola sumber daya alam untuk kepentingan dalam negeri sendiri. Terbebas dari jeratan hawa nafsu untuk membuat aturan selama mengatur rakyat.
Dengan demikian, jika penguasa saat ini masih berjabat tangan dengan erat pada sistem demokrasi sekuler yang merupakan jalan masuknya penjajahan gaya baru untuk mengatur rakyatnya. Maka ini tak lebih hanya kemerdekaan semu yang diraih. Dampaknya sudah kita rasakan, kesempitan hidup dan segala masalah ataupun musibah yang menimpa negeri ini. Akibat diterapkan sistem demokrasi sekuler. Firman Allah SWT:
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaha [20]: 124)
Karena itu, hanya dengan penerapan Islam secara kaffah kemerdekaan hakiki itu akan diraih. Menjadikan hukum-hukum Allah sebagai pengatur kehidupan. Maka, sudah saatnya untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki ini. Bukan kemerdekaan yang setengah-setengah!
Wallahu a'lam.