Oleh: Tri S, S.Si
Siapa yang menanam, pasti akan menuai. Peribahasa di atas memiliki makna siapa saja yang menanam kebaikan akan menuai kebaikan dan sebaliknya, siapa yang berperilaku buruk akan menuai keburukan. Dalam proyek pembebasan syahwat, ternyata bukan hanya pihak yang menanam yang menuai, tetapi mereka yang tak ikut-ikutan menanampun ikut menuai “hasil”.
Ironisnya, jika pihak yang menanam pornografi dan pornoaksi menuai keuntungan materil dari bisnisnya, pihak yang tak turut menanamkan saham kepornoan justru menuai badai penderitaan. Betapa tidak, banyak perempuan baik-baik menjadi korban perkosaan para pelaku setelah terpapar kepornoan. Banyak anak-anak ingusan jadi korban pelecehan seksual oleh penikmat tayangan pengundang syahwat.
Mereka adalah salah satu korban tak berdosa yang menuai badai nestapa akibat meluasnya kepornoan. Selain mereka, masyarakat secara keseluruhan harus menanggung dampak negatif dari penjajahan syahwat yang dilakukan aktor-aktor penebar kepornoan.
Dampak negatif itu antara lain rendahnya produktivitas manusia karena terganggu oleh paparan kepornoan, munculnya bibit penyakit sosial seperti penyimpangan seks, terjadinya dekadensi moral hingga berujung pada terancamnya eksistensi umat manusia akibat kehancuran institusi pernikahan.
Kecanduan pornografi-pornoaksi hanya akan melahirkan individu-individu yang tidak produktif, lemah akal, suka berkhayal dan tidak berorientasi masa depan. Setiap kali terangsang, maka yang terpikir dibenaknya adalah bagaimana syahwatnya bisa terpenuhi.
Ia akan terus gelisah dan tidak mampu konsentrasi selama tidak berhasil memenuhi hasratnya atau selama ia tidak mampu mengalihkannya. Yang ada dibenaknya hanya dipenuhi urusan pemenuhan kebutuhan seksual. Dan makin sering ia dirangsang maka frekuensi aktivitas seksualnya semakin tinggi, tak peduli dengan cara halal atau haram.
Gaya hidup seks bebas juga semakin menjauhkan manusia dari institusi pernikahan. Mengapa harus menikah kalau untuk memuaskan syahwat bisa dipenuhi tanpa pernikahan. Begitu logikanya. Maka, ketika lembaga pernikahan ambruk akibat tingginya angka perceraian, homoseks, dan seks bebas, ancaman selanjutnya adalah terputusnya regenerasi. Ya bagaimana regenerasi akan berjalan sementara pernikahan semakin tidak diminati? Di sisi lain, ketika terjadi kehamilan diluar nikah kemudian diaborsi?
Sementara itu, akibat perceraian, muncullah fenomena single parent. Anak-anak berada dalam asuhan satu pihak saja, ayahnya atau ibunya. Sudah bukan rahasia lagi, anak-anak seperti ini akan hidup dalam kesepian, kurang kasih sayang dan berujung pada kelabilan jiwanya. Mereka mudah terjerumus pada pergaulan bebas, narkoba, dan kriminalitas.
Meskipun memang, pornografi dan pornoaksi bukan penyebab tunggal munculnya kejahatan seksual dan berbagai dampak negatif seperti diuraikan diatas, namun bukti-bukti tersebut cukup untuk mencanangkan perang melawan penjajahan syahwat. Pornografi dan pornoaksi harus diberantas tuntas.
Maraknya kehamilan tidak diinginkan akibat perkosaan yang berujung ada aborsi adalah dampak sistem pergaulan yang liberalistik dan permissif serta lemahnya sistem hukum yang ada terhadap pelaku maksiat atau kejahatan. Selain berdosa, legalisasi aborsi justru tak menyentuh akar persoalan melainkan memperpanjang permasalahan. Kesalahan sudut pandang terhadap pelaku aborsi sebagai korban adalah penyesatan opini dalam legalisasi freeseks, buah penerapan sistem sekuler yang mengagungkan kebebasan.
Islam memberi solusi tuntas terhadap maraknya pemerkosaan yang berujung pada kehamilan tidak diinginkan dan aborsi. Saatnya berjuang menegakkan sistem Islam. Perlindungan berlapis dalam sistem Islam untuk menuntaskan permasalahan asusila secara indi mendekati zina, lingkungan, pendidikan dan media yang tidak menyuburkan bangkitnya jinsiyah.[Tri S]
(Penulis adalah pemerhati perempuan dan generasi)