Oleh : Ana Faras
(Pemerhati masalah sosial keagamaan)*
Siapa yang tidak mengenal Umar Bin Khattab, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki karakter yang sangat kuat, ia seorang laki-laki yang dilukiskan sebagai:
“Jika ia berbicara orang akan terpaksa mendengarkannya, jika ia berjalan maka langkahnya cepat bagai dikejar orang, dan jika ia berkelahi maka pukulannya adala pukulan maut yang mematikan!”
Umar Bin Khattab adalah sosok yang sangat disegani oleh kaumnya, masuknya ia dalam barisan kaum muslimin menambah kekuatan dan menjadi penyemangat luar biasa pada dakwah islam di masa-masa awal berjalan. Setelah meninggalnya mendiang Abu Bakar sebagai khalifah pertama, Umar menggantikan Abu Bakar sebagai Khalifah kedua dan mendapat julukan Amirul Mukminin (pemimpin orang mukmin).
Banyak catatan tentang kepimpinan Umar Bin Khattab yang mengagumkan dan mengharukan, ada sekelumit fragmen yang indah dalam masa kepemimpinannya. Khalifah Umar dan pembantu terdekatnya mempunyai kebiasaan blusukan di malam hari, melihat dari jarak dekat keadaan rakyatnya secara sembunyi-sembunyi. Di tengah perjalanan Khalifah Umar mendengar tangisan seorang anak kecil yang teramat keras dari sebuah gubuk, terdorong oleh rasa khawatir Umar pun kemudian mendekati rumah itu dan mendapati seorang Ibu yang terus mengaduk makanan dalam panci dengan kondisi sang anak yang tak berhenti menangis
Khalifah Umar yang merasa penasaran, kemudian bertanya apa gerangan yang sesungguhnya terjadi hingga sang anak tak berhenti menangis, Ibu itupun menjawab bahwa anaknya tidak sakit, tapi sedang kelaparan, dengan penuh iba dan heran Khalifah bertanya kembali, kenapa masakan itu tak kunjung matang, dan setelah ditengok ternyata yang dimasak wanita itu bukan makanan melainkan setumpuk batu, kemudian Umar bertanya lagi..
“Kenapa engkau memasak batu?”
“Aku tidak memiliki apapun untuk dimasak. Aku pun harus memasak batu untuk menghibur anakku. Ini adalah kesalahan Amirul Mukminin (Umar) karena tidak memperhatikan kondisi rakyatnya, padahal aku ini seorang janda,” sahut wanita itu karena ia tak tahu kalau lelaki yang berbicaranya dengannya adalah Umar Amirul Mukminin
Tak ada gurat marah saat Umar mendengar perkataan janda itu, beliau malah semakin iba dan diliputi perasaan bersalah. Umar pun menyuruh janda itu untuk tetap tinggal di tempatnya. Kemudian beliau segera pulang untuk mengambil sekantung gandum yang berat yang dipikulnya sendiri, tak peduli rasa lelah dan jarak yang jauh, Umar tetap kuat karena Umar menyadari bahwa ini merupakan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin, yang kelak akan dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah.
Begitulah gambaran Khalifah Umar bin Khattab, sosok pemimpin luar biasa, rasanya belum ditemukan pada masa kini, seorang pemimpin dengan karakter yang mencerminak sebagai sosok pemimpin yang takut dan taat kepada Rabbnya. Umar memahami bahwa menjadi pemimpin adalah sebuah amanah yang sangat berat untuk dipikul, sebuah tanggung jawab besar di hadapan Allah. Sehingga sikap dan gerak geriknya dalam memimpin masyarakat tidak terlepas dari ketentuan yang Allah gariskan dalam syariat Islam’
Coba kita bandingkan dengan kondisi pemimpin negara pada masa sekarang, dimana mereka justru abai dengan kebutuhan rakyatnya, dari awal prosesnyapun sudah cacat, berlomba-lomba ingin berada di tampuk kekuasaan tapi bukan melayani rakyat namun tak lebih sebagai ajang mencari kekayaan, maka berbagai cara dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan.
Dalam sistem kehidupan yang sekuler sekarang ini dimana aturan agama terpisah dari kehidupan, jikapun dipakai hanya dalam ranah privat, maka konsep kepemimpinan pun tak lebih sekedar ajang mendapatkan jabatan, berpolitik praktis tanpa mengindahkan hakikat seorang pemimpin yaitu untuk melayani dan mengurusi urusan umat agar kebutuhan hidupnya secara material maupun non material terpenuhi.
Dalam sebuah hadits disampaikan:
“Gembirakanlah (rakyat) dan jangan engkau hardik, permudahlah (urusan) mereka dan jangan engkau persulit” (HR Bukhari)
Sudahkah kita lihat gambaran kegembiraan rakyat di negeri kita pada hari ini dari seorang pemimpin, adakah salah satu diantara mereka menjadi pemimpin yang meski tidak sejajar mungkin mendekati sosok Amirul Mukmini Kalifah Umar Bin khattab??
Justru yang kita lihat dan rasakan pada hari ini, kemiskinan adalah baju yang dipakai rakyat seari-hari, harga kebutuhan pokok yang semakin tak terjangkau sehingga kasus-kasus kelaparan dan gizi buruk banyak terjadi sementara pemimpin mereka berlenggang dalam kubangan harta, belum lagi problematika sosial dan hukum di masyarakat semakin tampak menjadi momok yang menakutkan dan tidak meberikan rasa aman dalam kehidupan, peristiwa pembunuhan, penganiayaan, pelecehan wanita, prostitusi, pornografi bahkan persekusi kepada tokoh agama seolah hal yang biasa, hukumpun tak merespon kedaan ini sebagai sesuatu yang genting dan harus ditangani, hingga ada sebua idiom hukum itu tumpul ke atas namun tajam ke bawah kepada kaum marjinal.
Marilah sebagai muslim kita fahami bahwa hanya Islam yang sempurna dan menyeluruh (syamilah dan kamilah) ini yang mempunyai konsep tentang seorang pemimpin dengan kriteria yang sangat jelas, yaitu seorang pemimpin adalah pelayan rakyat memikul tanggung jawab dan amanah untuk taat kepada Allah dan Rasulnya dalam menjalankan kekuasaan, tugas dan wewenangnya, menjalankan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan baik dalam lingkup individu, bermasyarakat dan bernegara, dan jika hal ini dilakukan tentulah berkah Allah tercurah dan inilah sebab yang menghantarkan bahwa Islam akan menjadi Rahmattan lil alamin. Rahmat bagi seluruh alam semesta.
Jadi jelas, Islam sebagai rahmatan lil alamin dimulai dari seorang pemimpin yang bertaqwa yaitu melaksanakan segala perintah Allah, menjalankan segala syariat-Nya di muka bumi ini.
Adakah yang tak mendamba sosok pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya?
Wallahu'alam