Oleh : Sunti
Beberapa hari ini banyak berita yang sedang viral di media sosial. Salah satunya tentang pernikahan dua remaja asal Tapin Kalsel yang hanya bertahan dalam dua malam. Dua remaja ini berinisial ZA usia 14 tahun (mempelai laki-laki) dan IB usia 15 tahun (mempelai perempuan). ZA tinggal bersama kakek dan neneknya, sedangkan orang tuanya sudah lama bercerai, IB yang merupakan istri ZA adalah anak yatim piatu yang diasuh oleh neneknya. Pernikahan ini berlangsung hanya dua malam dikarenakan pihak MUI setempat mmbatalkan pernikahan tersebut dengan alasan pernikahannya tidak sah karena saat akad nikah perwalian IB diwakilkan oleh wali hakim. Padahal IB masih mempunyai kakak kandung. Tetapi yang menjadi masalah adalah keberadaan kakak kandung IB tidak diketahui.
Bukan hanya MUI, KPAI juga mencekal pernikahan ini, menurut mereka pernikahan ini sudah melanggar UU perkawinan dan UU perlindungan anak, karena dalam UU PA usia 0-18 tahun dikategorikan sebagai anak-anak. Dalam UU Perkawinan, usia minimal calon pengantin perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Disaat mempelai ditanya alasan apa yang membuat mereka memutuskan menikah, jawabannya cukup mencengangkan. Tidak banyak remaja jaman now punya pemikiran sebagus ini. Kenapa? Karena menurut mereka, mereka tidak mau terjerumus dalam pergaulan bebas, tidak mau berbuat zina dan tidak mau putus cinta. Bukankah ini bagus dalam sudut pandang Islam?
Islam adalah agama yang sempurna. Solusi untuk semua problematika kehidupan. Begitu juga dalam menyelesaikan masalah ini. Dalam Al Quran dan Hadist sudah dijelaskan dengan sangat jelas tentang pernikahan termasuk tentang perwalian. Berdasarkan hadist rosululloh :
"Dari Aisyah Radhiyallaahu’anha Rasulullah shallaahu’alaihiwasalam bersabda : “seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya adalah batil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” HR Abu Dawud 2083, Tirmidzi 1102, Ibnu Majah 1879, Ad`Darimi 2/137, Ahmad 6/47, 165, Syafi’I 1543, Ibnu Abi Syaibah 4/128, Abdur Razaq 10472. Tentang perwalian Mayoritas ulama berpendapat bahwa urutan wali adalah sebagai berikut: Ayah, Kakek (ayahnya ayah) dan seterusnya ke atas, kemudian anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah. Kemudian saudara laki-laki (kandung atau seayah) dan anak-anak laki–laki mereka. Kemudian saudara laki-laki ayah, kemudian anak-anak laki - laki mereka. Jika wali nasab tidak dapat menjalankan haknya sebagai wali dikarenakan beberapa hal, misalnya: gila, belum dewasa, sedang dalam perjalanan jauh, sedang haji atau umrah dan lainnya, maka hak untuk menjadi wali jatuh pada penguasa negara dalam hal ini pemimpin, menteri agama dan selanjutnya diwakilkan oleh petugas pencatat nikah di Indonesia pada khususnya. Wali hakim dapat menjadi wali dalam pernikahan jika disetujui oleh kedua belah pihak keluarga. Dengan keadaan IB yang seorang yatim piatu dan mempunyai kakak yang tidak diketahui keberadaanya maka hal ini sudah bisa memenuhi syarat jikalau dia menikah menggunakan wali hakim. Seyogyanya pihak MUI tdk tergesa- gesa membatalkan pernikahan ini, begitu juga dengan KPAI. Dalam Islam, parameter menikah bukanlah dilihat dari segi usia, akan tetapi dilihat dari sejauhmana persiapan kedua mempelai untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Memahami hak dan kewajiban serta ketentuan Islam bagi seorang muslim ketika mewujudkan kehidupan rumah tangga. Jika dilihat, ZA dengan usia 14 tahun dan BI sudah berusia 15 tahun, seyogyanya dengan usia 'dewasa' dalam Islam itu mampu diarahkan untuk membangun pernikahan Islami, rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah. Apalagi jika mendengar alasan mereka yg begitu luar biasa. Notabene mereka menikah karena ingin menghindari pergaulan bebas dan takut berbuat zina. Harusnya semua pihak mendukung dan menyemangati para remaja lainnya untuk mencontoh ZA dan BI ini. Atau bahkan bisa dijadikan duta anti seks bebas yang saat ini sedang marak di kalangan remaja. Berapa banyak remaja terlibat pergaulan bebas, hamil di luar nikah, aborsi, bahkan terjangkit penyakit HIV/AIDS? Ini karena melemahnya akidah para remaja kita. Tidak ada aturan yang benar (aturan islam) yang menaungi mereka. Aturan yang ada begitu bebas. Orang tua juga kurang memperhatikan anaknya karena sibuk bekerja. Lingkungan yang tidak sehat, masyarakat juga acuh terhadap pergaulan anak remaja saat ini. Pernikahan ini adalah suatu contoh nyata dimana jika kita hidup di lingkungan yang tidak menerapkan aturan islam, maka pernikahan yang sesuai dengan aturan islam dianggap tidak sah, tidak sesuai, aneh, nyeleneh, bahkan melanggar UU. Padahal jika kita mau berfikir aturan siapa yg lebih mulia, yang lebih agung dan lebih adil? Aturan manusia atau aturan Pencipta manusia? Maka sudah saatnya kita yang dihidupkan Allah, diberi rizky Allah, dan diberi aturan yang lengkap dari Allah, patuh dengan seluruh aturan Allah serta menilai segala hal sah atau tidaknya, halal atau haramnya sesuai dengan yang Allah tetapkan. Bukan atas dasar hawa nafsu manusia.
Wallohu a’lam bishawab.