Oleh : Sala Nawari
Memandang gelora generasi, ceria tanpa beban, semangat meraih cita dan asa, giat belajar, berkompetesi mewujudkan prestasi dan impian. Gambaran benar Indonesia Merdeka. Terbayangkan bagaimana gelora semangat kaum muda dan seluruh rakyat bersatu dalam perjuangan bersenjatakan bambu runcing dan ketapel hasil inovasi potensi lokal dan kearifan budaya untuk mempertahan diri dari serangan pasukan penjajah asing dan penjajah pribumi yang membela kepentingan asing, berkeduk saudara sebangsa. Indonesia terbebas dari penguasaan kolonial penjajah yang merongrong jiwa dan harta rakyat bahkan bumi Indonesia berupa rempah dan hasil bumi.
Hanya saja pesona generasi merdeka yang membingkai Indonesia tidaklah sekuat idealisme yang mendasarinya. Tawuran, premanisme, pelecehan seksual, seks bebas, kriminal, dan narkoba adalah warna berita media yang tidak pernah berubah, juga tak pernah putus kata untuk membawanya dalam pembahasan. Kondisi menakutkan yang tetap harus diwaspadai meskipun tidak semengerikan ketika harus langsung berhadapan dengan bedil dan pasukan kolonial berseragam militer.
Secara berkala ditemukan impor illegal narkoba berbagai jenis dan berbagai cara masuk ke Indonesia dalam jumlah yang tidak tanggung. Ratusan kilogram barang haram itu diperuntukkan untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar yang berefek pada pelemahan generasi untuk memahami arti merdeka. Sehingga jangankan untuk menjadi benteng bangsa dalam pembangunan, malah akan mudah diperbudak oleh generasi bangsa lain.
Tidak hanya impor illegal, rakyat juga dikejutkan oleh kelangkaan garam dimana bangsanya dikelilingi oleh lautan dan samudera yang luas. Bukankah dulu para kolonial penjajah berebut bangsa ini yang masih terpecah dalam wilayah kerajaan untuk menguasai garam dan rempah-rempahnya.
Kita mengenal kerja rodi dan romosta dalam pembelajaran sejarah dibangku sekolah sebagai pekerja paksa kolonian untuk menggali dan mengambil sumber daya dan bahan tambang yang ada di perut bumi Indonesia untuk diangkut ke negeri asal mereka. Saat ini anak bangsa bekerja secara sukarela sebagai buruh yang dibayar di sebuah perusahaan asing yang kerjanya tidak berbeda, yaitu mengambil dan mengeruk sumber daya dan bahan tambang untuk dibawa ke negeri mereka bukan sebagai kolonial penjajah tapi secara legal dengan izin eksploitasi. Sumber daya alam yang melimpah di negeri kita ternyata bukanlah sepenuhnya milik bangsa.
Secara jujur sebagai bangsa yang sedang memperingati kemerdekaannya secara fisik, kita harus mengakui bahwa para kolonial tidak begitu saja rela melepaskan Indonesia yang subur makmur dengan kelimpahan sumber daya alam hingga sampai ke perut bumin, bahkan sumber daya manusianya dengan jumlah penduduk yang melimpah sebagai market bisnis kolonial yang berafiliasi sebagai Negara kapitalis.
Dengan wajah barunya kolonialisme bebas bergerak dengan sistem ekonomi kapitalis. Tanpa harus melalui pendudukan militer dan perang fisik. Indonesia sukses masuk dalam jeratan jeratan penjajahan ekonomi the global empire oleh bangsa adidaya, yang secara halus memuji Indonesia sebagai negara yang demokratis. Indonesia saat ini sebagai negara berkembang telah terjerat utang yang hampir tidak mungkin untuk dibayarnya akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis yang dikomandoi AS.
Indonesia harus menyisihkan anggaran belanja pertahunnya sekitar 30-40% hanya untuk membayar pokok hutang dan bunganya. Ibarat Siti Nurbaya yang dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih karena tidak bisa membayar hutang, maka sesederhana itu lah kita harus memahami kemerdekaan. Bahwa dalam kemerdekaan bangsa ini masih tergadai dalam jeratan the global empire. Adakah pemahaman ini dianggap tidak mendasar atau hanya kicauan miring atas negeri tercinta ini, sehingga generasi millennia ini tidak harus menggubrisnya. UU SDA dan Migas, kokohnya cengkraman Freefort, privatisasi hak-hak kepemilikan umum oleh pemerintah, lepasnya perusahaan-perusahaan milik negara, adalah harga yang harus dibayar. Intervensi asing yang berkedok investasi telah menyebar sampai di sudut benua.
Bahkan budaya Indonesia yang kaya warna dan kaya kreasi terkalahkan oleh budaya asing semisal K-Pop. Wacana manggungnya SNSD secara nyata menyudutkan budaya nusantara di puncak keterasingannya, meskipun dalam rangka perhelatan akbar olahraga yang notabene diadakan di wilayah nusantara.
Dunia pendidikan ke depan diharapkan memberikan arah penguatan generasi dalam menunjukkan makna merdeka. Dukungan literasi dalam pendidikan akan menunjukkan secara global keberadaan Indonesia merdeka. Indonesia berada dalam sebuah sistem dunia yang aktif saaat ini. Dunia mengenalkan tiga ideologi yang melahirkan sistem penerapan dan penyelesaian kehidupan secara individu, masyarakat berbangsa dan bernegara, yaitu sistem sosialisme, sistem kapitalisme, dan sistem Islam. Proses berfikir yang mendalam yang dibiasakan dalam model pembelajaran akan menemukan sistem yang tepat dalam memajukan Indonesia merdeka.
Dengan melakukan perbandingan sistem mungkin kita bisa melihat dan menemukan satu sistem yang benar, yang sesuai dalam mengemban amanat UUD 1945 dan mungkin sistem inilah yang menginspirasi pendiri bangsa ini dan merumuskannya menjadi falsafah negara dalam Pancasila. Sistem yang buruk hanya akan terus mendorong Indonesia dalam keterpurukan dan perpecahan, yang menjauhkannya dari cita-cita pejuang kemerdekaan.
Kekayaan alam yang melimpah adalah modal besar untuk menjadikan Indonesia sejahtera. Kemerdekaan sejatinya siap mencetak generasi yang menjadi tuan di negeri sendiri. Letak geografis dan sumber daya manusianya pun adalah peluang tersendiri untuk menjadikan kita negara adidaya. Kerja bersama dengan sistem yang tepat semoga menjadikannya terwujud. Majulah Indonesia dalam kemerdekaannya. Merdeka!! ***Wallahu’alambishawab***