Oleh: Hany Handayani Primantara
(Ummahat Peduli Umat)
Fahmi Darmawangsa atau lebih dikenal dengan suami Inneke Koesherawati. Saat ini jadi perbincangan atas perilakunya yang mengambil uang negara, alias korupsi. Fahmi Darmawangsa hanyalah salah satu nama yang tersangkut korupsi diantara sederet nama lainnya yang terekspose media. Satu demi satu akhirnya para koruptor ini tertangkap basah oleh KPK bak tikus yang yang terjebak oleh penjepit.
Usut punya usut ternyata keadaan suami Inneke Koesherawati ini dapat perlakuan yang istimewa dipenjara. Kanal liputan6.com menyebutkan bentuk perlakuan khusus tersebut berupa pelayanan hunian mewah nan nyaman dalam lapas sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Hunian tersebut tak didapat dengan cuma-cuma. Perlu merogoh kocek hingga 500 juta lebih untuk dapatkan pelayanan istimewa ini. Harga yang fantastis bukan.
Layanan pendingin ruangan (AC), kamar mandi berserta toilet duduk, televisi, rak buku, dan lain-lain hanyalah secuil fasilitas yang dapat dinikmati para narapidana kasus korupsi. Jika pun ingin menambah fasilitas yang tersedia, maka tinggal bayar lebih. Hal ini pun diamini terang-terangan oleh kalapas sukamiskin Wahid Husen, yang telah menerima lembaran uang hingga mobil dari sang narapidana korupsi.
Melihat fakta yang demikian adanya, saya jadi berfikir. Lantas dimana efek jera sang koruptor. Jika masih berstatus narapidana saja, dilayani bak raja yang sama sekali tak bersalah. Lucunya, hal ini sudah jadi rahasia umum. Bukan hal yang ditutup-tutupi lagi. Seakan membenarkan istilah uang itu bisa membeli segalanya. Termasuk keadilan di negeri ini. Jikalau uang sudah bertindak, maka semua bisa ditundukan.
Apakah ini merupakan hal yang baik? Jika uang sudah bisa jadi solusi problematika kehidupan manusia maka wajar jika semua manusia saling mengejar yang namanya "uang". Karena tanpa uang, manusia tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan dengan uang pun ia bisa beli kebenaran serta keadilan. Lantas untuk apa pelajaran disekolah selama ini bagi kita? Mengajarkan berlaku adil namun pada faktanya orang-orang dewasa tak berlaku adil.
Mengajarkan budi pekerti, namun manusia zaman sekarang tak banyak yang paham bagaimana itu budi pekerti. Apakah ini hanya sekedar oknum dan kasuistik saja? Sepertinya tidak jika melihat fakta-fakta yang ada. Fakta kasus korupsi saja, bukan satu dua orang yang kedapatan menikmati layanan istimewa ini. Maka omong kosong hukum di negeri ini dapat berlaku adil jika masih ada istilah kamar vvip bagi narapidana korupsi.
Layanan lapas-lapas mewah ini membuktikan bobroknya sistem sekarang. Sistem demokrasi yang merupakan sistem politik berbiaya tinggi. Masih ingat tiap pesta demokrasi menjelang, berapa biaya uang harus dikeluarkan oleh pasangan calon? Wajar jika mereka pun tak mau rugi ketika menjabat. Berapa pula biaya yang dikeluarkan oleh negara sebagai penyelenggara pesta demokrasi, yang Ujung-ujungnya gunakan uang rakyat juga untuk biayai itu semua. Rakyat bayar mahal untuk peroleh pemimpin harapan umat namun hasilnya nihil.
Selain biaya mahal, sistem demokrasi pun bersifat sekuleritik. Miskin paradigma ruh, yakni kesadaran akan keberadaan sang khaliq dalam segala aktivitasnya. Inilah yang tak dimiliki kaum sekuleris. Ini akan berimbas pada setiap prilakunya yang tak pernah takut akan Tuhannya. Jika kesadaran sendiri saja tak dimiliki maka hal yang wajar pula, jika saat ramai pun ia tak takut dan malu akan apapun.
Seorang koruptor dihukum dengan hukum penjara. Namun saat dipenjara diperlakukan seperti manusia biasa yang tak miliki kesalahan, bahkan dilayani dengan berbagai fasilitas. Bukan lagi efek jera yang timbul melainkan efek nagih. Selain tak ada efek jera, hukum penjara seperti ini pun tak akan gugurkan dosa sang pelaku koruptor tadi. Efek jera tak ada, efek penebus dosa pun tak ada apalagi efek pencegah agar tak lakukan korupsi. Ketika korupsi justru hidupnya jadi lebih enak. Maka wajar mereka berbondong-bondong meraihnya. Meraih gelar koruptor.
Lain demokrasi, lain dengan lagi dengan Islam. Islam justru mengharuskan setiap muslim untuk senantiasa sadar akan kehadiran sang Rabb. Baik itu dalam keadaan sendiri maupun ditengah keramaian. Bahkan ruh inilah yang menjadi benteng pertahanan kaum muslim sebagai pilar penegakan hukum yang pertama. Yakni pilar ketakwaan individu, jika dalam dirinya sudah tertanam jiwa ketakwaan maka dengan sendirinya akan timbul pula rasa takut teramat sangat ketika melakukan dosa.
Rasa takut inilah yang menjaganya terhindar dari dosa maksiat. Selain pilar ketakwaan individu, ada dua pilar lainnya yang menyokong penegakan hukum syara. Kedua, adalah penjagaan masyarakat. Masyarakat yang Islami akan sadar tentang wajibnya saling tegur dan nasihati sesama muslim ketika ada kemaksiatan. Kesadaran tentang wajibnya ini yang membedakan dengan masyarakat sekarang yang lebih bersikap acuh terhadap urusan sesama.
Maka tak heran, jika ada yang maksiat dizaman sekarang, bukan ditegur. Bahkan sudah dianggap sebagai hal yang lumrah dan biasa saja tanpa ada rasa penjagaan bersama. Ketiga, pilar yang paling berpengaruh adalah tegaknya hukum oleh negara. Pilar ketiga merupakan pilar yang paling ampuh dalam menjaga hukum-hukum Islam. Termasuk dari kemaksiatan korupsi yang sudah jadi budaya negeri ini.
Jelas yang perlu dibenahi disini adalah sistem demokrasi. Karena dalam sistem demokrasi, pemberantasan korupsi hanyalah mimpi. Mimpi bagi orang-orang yang berharap keadilan hakiki. Dalam demokrasi tak ada istilah keadilan hakiki, yang ada adalah kepentingan hakiki. Masihkah kita berharap pada demokrasi? Yang telah jelas merusak pola pikir anak negeri, serta mental para pejabat yang korupsi. Demokrasi merupakan biang keladi. Harus diganti dengan penerapan slam yang hakiki.