Ketika Hilal Dzulhijjah Tertutup Awan Politik

Oleh: Arin RM, S.Si

(Member TSC, Frelance Author)


Hilal adalah adalah bulan sabit muda yang terjadi setelah konjungsi (matahari dan bulan tampak di arah yang sama). Hilal merupakan fase bulan yang terjadi setelah fase bulan baru. Pengamatan hilal dilakukan saat senja, sebab pergantian kalender hijriah adalah saat mahgrib. Momen matahari terbenam ini juga memudahkan pengamatan hilal yang masih redup dan tipis. Apabila pengamatan hilal saat senja terlihat, maka saat mahgribnya sudah bisa dikatakan masuk tanggal 1 awal bulan hijriyah (infoastronomy.org, 11/06/2018).


Hilal bisa muncul di berbagai daerah, maka tidak heran jika terkadang hilal hasil rukyat global pun dipakai untuk menentukan awal masuknya bulan baru, terutama Ramadan. Spesial untuk Dzulhijjah, yang di dalamnya terdapat aktivitas manasik haji, maka penetapannya diserahkan kepada penguasa Makkah saja. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan. Bukan karena faktor fanatisme, melainkan karena mengikuti dan tunduk pada sabda Nabi.


Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata, “Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata, “Rasulullah telah berpesa kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud, hadits no 2339).


Memahami hadits di atas, maka seharusnya satu bumi (yang bulannya hanya satu, -pen) hanya ada satu hari yang sama untuk penentuan awalDzulhijjah. Sebab awal Dzulhijjah ini yang akan berpengaruh pada pelaksanaan hari raya Qurban di tanggal 10 nya. Ustadz Shiddiq al Jawi pernah menuliskan bahwa “para fuqaha sepakat, bahwa penentuan awal bulan Dzulhijjah hanya didasarkan pada rukyatul hilal saja, bukan dengan hisab. Ini ditegaskan oleh Syaikh Abdul Majid al-Yahya dalam kitabnya Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah, Tak ada khilafiyah di antara fuqaha, bahwa rukyatul hilal adalah standar/patokan dalam penentuan masuknya bulan Dzulhijjah….” (Abdul Majid al-Yahya, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah, hal. 198).


Namun sayangnya apa yang terjadi di negeri ini tidaklah demikian. “Di Indonesia kita pakainya hisab dan rukyat. Kita berpatokan pada dua hal ini. Ini metode yang paling kita yakini benar untuk menetapkan tanggal 9 dan 10 Dzulhijah," ucap Direktur Penerangan Agama Islam (Penais) Ditjen Bimas Islam Kemenag, Khoirudin (republika.co.id, 13/08/2018). Akibatnya, di Indonesia hari raya jatuh pada hari Rabu tanggal 22 Agustus 2018. Padahal Mahkamah Agung Arab Saudi memutuskan Idul Adha 1439 H jatuh pada hari Selasa tanggal 21 Agustus 2018 (news.detik.com, 12/08/2018).


Menetapi apa yang disampaikan Rasul bahwa Dzulhijjah di tentukan dengan rukyat hilal dan penetapan hari rayanya diserahkan kepada amir Makkah, maka sangat wajar jika mayoritas negeri muslim di dunia melaksanakan idul fitri tanggal 21 Agustus 2018. Begitu pula sebagian muslim Indonesia. Memandang hal ini, tak bijak jika mereka dilempari tuduhan tidak nasionalis lalu memunculkan sentimen agar pindah ke Arab saja. Sebab apa yang dilakukan muslim demikian sebenarnya adalah bukti ketundukannya pada Allah, dengan menetapi apa yang disabdakan oleh Rasulullah. Sikap demikian murni berkaitan dengan keyakinan, kepatuhan pada ajaran Islam. Bukan perwujudan ajaran radikal sebagaimana yang mereka tuduhkan.


Yang menjadi persoalan sebenarnya adalah apa yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan yang berbeda. Sebab di antara ulama yang duduk di majelis sidang isbat pasti banyak yang paham hadits di atas. Namun memberikan hasil berbeda. Pemicunya adalah faktor kebijakan politik. Kebijakan lokal sentris inilah yang pada akhirnya menjadi awan penutup hilal global. Kebijakan ini lahir sebagai konsekuensi nasionalisme, sekat imajiner yang menjadikan muslim seolah terpisah-pisah, merasa beda antarnegara. Sengaja dilahirkan oleh kapitalisme demokrasi agar persatuan kaum muslim tak pernah terwujud. Agar kaum muslimin terus dalam keterpecahan dan jauh dari kebangkitan.


Atas nama sekat imajiner tadi, perbedaan disahkan dengan mengedepankan logika masing-masing. Jika sudah begini, fanatisme lah yang terasa. Dan Rasul melarangnya: “Barangsiapa yang terbunuh di bawah bendera (fanatisme) buta, mengajak pada ashobiyyah atau menolong karena ashobiyyah (fanatik), maka matinya seperti mati Jahiliyyah” (H.R Muslim dari Jundab bin Abdillah al-Bajaliy). [Arin RM].

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak