Oleh: Ninik Irmawati
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (ketum PBNU), KH. Said Aqil Sirodj, mendesak agar kurikulum agama dikaji lagi. Ia mengusulkan agar bab tentang sejarah yang dominan hanya menceritakan perang dikurangi porsinya. (Republika.CO.ID.Kediri).
"Yang diperhatikan adalah kurikulum pelajaran agama disekolah yang disampaikan sejarah perang, misalnya perang badar, perang uhud, pantesan radikal", katanya dalam acara Konferensi Wilayah PW NU Jatim di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur. Ahad (29/7).
Yang menjadi permasalahan utama adalah menjadi radikal karena mempelajari sejarah perang. Radikal adalah sebuah istilah yang netral dapat berubah konotasinya menjadi negatif jika istilah tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal negatif. Dapat dipastikan jika mendengar istilah radikal, maka yang terlintas dipikiran adalah kekerasan, bom dan hal-hal negatif lainnya. Ini karena kebanyakan media menggunakan kata radikal ketika memberitakan berita-berita kekerasan sehingga secara otomatis kita memaknai kata radikal sebagai sesuatu yang negatif.
Jika dilihat dari asal katanya dalam bahasa Latin, istilah radikal berasal dari kata radix yang artinya akar. Sejalan dengan ini KBBI mengartikan istilah ini sebagai segala sesuatu yang sifatnya mendasar sampai ke akar-akarnya atau sampai pada prinsipnya. Dapat juga diartikan sebagai sifat maju dalam hal pola pikir atau tindakan.
Sebenarnya radikal merupakan istilah positif yang menunjukkan sesuatu yang sifatnya berpegang teguh pada prinsip. Seperti istilah Muslim radikal, kebanyakan kita akan mengartikan istilah ini sebagai orang Islam yang senang kekerasan dan perang. Padahal artinya adalah orang Islam yang melaksanakan ajaran agama sesuai prinsip ajaran Islam yang penuh kedamaian.
Radikal adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18. Dalam sejarah, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Jadi bisa diartikan bahwa asal muasal tindakan radikal muncul dari salah satu aliran politik bukan dari ajaran agama tertentu, dan tidak bersumber dari ajaram agama.
Namun perlu diketahui bahwa tuduhan radikal untuk umat Islam dikenal sejak perang dingin antara 2 negara adikuasa berakhir. Setelah kalahnya adikuasa Uni Sovyet dalam melawan Afganistan.
Dalam pengertian khusus, partai radikal-sejumlah organisasi politik yang menyebut dirinya radikal, atau menggunakan kata radikal sebagai bagian dari namanya. Dalam kenyataan sejarah, pihak yang berkuasa atau pihak yang tidak mau kekuatannya dilemahkan selalu menuduh pihak yang lemah sebagai kaum radikal. Sedangkan sikap radikal mereka terhadap orang lain tidak dinilai sebagai tindakan radikal.
Jika kita cermati, banyak sekali persoalan yang mendukung dan menyebabkan muncul dan berkembangnya paham radikal.
Pertama, penjajahan dan pencaplokan terhadap negeri-negeri Muslim seperti Palestina, Iraq dan Afganistan. Dunia bungkam seribu bahasa terhadap penjajahan yang dilakukan Israel dan Amerika.
Kedua, penindasan terhadap umat Islam di berbagai belahan dunia terutama di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya orang-orang kafir. Mereka dikekang dan dibelenggu, tidak bebas menjalankan ajaran agama mereka secara sempurna.
Ketiga, kezaliman dari sebagian penguasa terhadap aktivitas-aktivitas dakwah.
Keempat, kebodohan umat terhadap agama terutama masalah aqidah. Tatkala kebodohan dan kemunduran terhadap pemahaman agama tersebar ditengah-tengah masyarakat Islam, terutama generasi muda, maka ini menjadi ladang subur menyebarkan doktrin gerakan radikal.
Kelima, kemungkaran ditengah-tengah masyarakat baik dari segi akhlak maupun pemikiran.
Keenam, pengawasan yang lemah dari badan penegak hukum dalam menindak berbagai bentuk pelanggaran hukum.
Lantas pertanyaannya sekarang, bagaimana bisa sejarah perang dapat menimbulkan sikap radikal dan intoleransi? Ini adalah phobia yang berlebihan karena belum ada bukti bahwa seseorang yang mempelajari sejarah perang secara otomatis terpengaruh sikap radikal.
Jika porsi pelajaran agama Islam pada aspek sejarah tentang perang dikurangi, sama saja berusaha untuk menghapus ayat-ayat Alquran tentang perang. Padahal wajib mempelajari Alquran secara totalitas dan menyeluruh sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT yang menurunkan Alquran sebagai pedoman dan aturan kehidupan manusia. Wallahu a’lam bishshowab.