Oleh : Yuliyati Sambas
Member Akademi Menulis Kreatif
Ahad ini menjadi ahad yang begitu membingungkan buat kedua putriku yang sudah masuk usia _mumayyiz_. Bagaimana tidak, di sekolah mereka mendapat tanggal untuk libur lebaran idul adha rabu, tapi bundanya sudah beberapa kali menceritakan kalau lebaran itu hari selasa.
"Bun, jadi sebenernya kita lebaran kapan selasa apa rabu sih bun?" Teteh Aisyah bertanya dengan penuh antusias.
"Insyaa Allah selasa teh." Jawabku pendek, karena kufikir sudah beberapa kali pertanyaan ini kubahas.
"Tapi kata ibu guru aku lebarannya rabu bun, di sekolah kan mau ada potong qurban juga." Kali ini si tengah ikut bersuara.
"Jadi begini ya cantik, yang namanya lebaran idul adha itu adalah serangkaian ibadah yang sudah Allah tetapkan waktunya, dan Allah menyuruh kita semua berlebaran idul adha itu di tanggal 10 Dzulhijjah. Sementara tanggal 9 Dzulhijjah itu adalah tanggal dimana kaum muslimin yang sedang berhaji melaksanakan ibadah wukuf di Padang Arafah, dan menurut berita yang disampaikan oleh saudara-saudara kita yang sedang berhaji mereka wukufnya senini. Nah buat kita-kita yang lagi nggak ikut berhaji disunnahkan untuk shaum arafah dihari yang sama." Jelasku dengan demikian rinci.
"Jadi besok kita shaum dong bun?" Kakak Fathimah bertanya lagi.
"Iya Shalihah." Kujawil Pipi tembemnya.
"Terus aku harus gimana dong bun kalau temen-temen pada tau kita lebarannya beda?" Teh Aisyah masih penasaran dengan apa yang terjadi selama ini.
"Ya kalau ada yang bertanya kita bilang saja baik-baik apa adanya, nggak boleh bohong lebaran selasa karena malu beda sama temen terus bilang rabu. Terus kalau teteh sama kakak bisa nyampein alasannya apa yang tadi bunda bilang ya sampein ke temen-temennya. Insyaa allah nanti teteh sama kakak bisa dapet pahala dakwah lho."
Kututup obrolan ini dengan penuh harap bahwa perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin tidak mesti menjadikan perpecahan di tubuh kaum muslimin. Karena pada kenyataannya dari zaman Rasulullah dulu perbedaan telah alamiah terjadi, namun kita diajarkan bahwa kekuatan dalil syar'i yang disampaikan oleh para ulama adalah sesuatu yang wajib dipegang dalam menjalankan setiap kewajiban agama, dan kaum muslimin selaku _muqallid_ (pengikut) wajib dengan kuat mengikuti dan menyebarkan apa yang difahami dan diyakininya.
Namun jika berhadapan dengan saudara sesama muslim yang memiliki keyakinan berbeda terkait jalur pendalilan yang dirujuk maka saling menghormati adalah sesuatu yang wajib untuk dikedepankan.
Khalifah dalam hal ini sebagai pemimpin tertinggi kaum muslimin tidak akan memberangus perbedaan yang masih dalam tataran _khilafiah_ (perbedaan pendapat di kalangan para ulama mazhab) hingga jika terjadi sesuatu yang akan menggangu keutuhan kaum muslimin maka pada saat itulah khalifah akan turun tangan mengadopsi salah satu pendapat yang ia yakini paling kuat.
Sungguh kami sangat merindukan kehadiran sosok pemimpin ummat, sang khalifah dalam bingkai istitusi warisan Rasulullah SAW yakni Khilafah Rasyidah yang akan mendzahirkan semua syari'at Allah tanpa kecuali, dan akan mempersatukan seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia dari Maroko hingga Merauke. Aamiin yaa Rabbal 'aalamiin.
Bandung, 19 Agustus 2018