Oleh : Rahmawati Ayu K., S.Pd
(Pendidik, tinggal di Jember Jatim)
"Mau jadi apa generasi muda kalau disuguhkan karnaval seperti ini?," Dynand Fariz, pencetus Jember Fashion Carnaval (JFC) menirukan ucapan anggota dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jember. Di tahun ketiga penyelenggaraan, ternyata JFC sempat mendapat tentangan dari anggota dewan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, JFC sukses diselenggarakan tiap tahun terhitung sejak 2002 hingga tahun 2018 ini. Dari situ, Dynand Fariz justru tergugah untuk membuktikan kalau JFC patut dipertimbangkan sebagai wadah menuangkan kreatifitas dan layak diakui di dunia internasional. (www.cantika.com)
JFC tahun ini memang dijamin lebih glamor. Tema yang akan diangkat adalah Asialight. JFC-17 akan digelar pada 7-12 Agustus 2018 di Jember, Jawa Timur. Event ini akan menyulap jalanan utama Kota Jember sepanjang 3,6 Kilometer sebagai catwalk. Akan ada ribuan kostum terbaik yang ditampilkan dan akan dikenakan oleh anak-anak hingga dewasa.
Pro dan kontra tentang JFC terus berlangsung hingga saat ini. Yang pro berpendapat, JFC akan menghidupkan sektor pariwisata, meningkatkan kreatifitas generasi muda, mengenalkan Jember dan Indonesia Go Internasional. Menurut Bupati Jember Faida sendiri menyatakan, dengan adanya JFC ini diakuinya mulai banyak dirasakan imbasnya seperti investasi hotel yang tiap tahun terus tumbuh, yang itu masih saja masih belum menampung semua tamu-tamu pecinta JFC yang datang ke Jember pada bulan Agustus. Belum lagi geliat ekonomi masyarakat, dengan adanya JFC maka tumbuh subur perdagangan mayarakat ekonomi reatif maupun usaha kecil. (jembergo.id)
Yang kontra, seperti komentar anggota DPRD Jember di atas, mempertanyakan kualitas generasi macam apa yang akan lahir dari even JFC. Sebab JFC tidak terkait langsung dengan upaya pemerintah menanamkan pendidikan karakter kepada generasi. JFC hanyalah sebagai wadah menuangkan ide-ide kreatif fashion yang bertema.
FENOMENA GENERASI ALAY
Berbicara tentang generasi muda memang tidak ada habisnya. Karena mereka adalah generasi penerus. Namun sayang, berita tentang generasi kebanyakan adalah berita negatif dibandingkan yang positif.. Saat ini moral generasi kian memprihatinkan. Menjamurnya para artis dadakan semakin membuat para pengguna medsos yang labil makin membludak. Seolah menjadi trend, semakin konyol kelakuan seseorang di media justru semakin cepat menjadikannya terkenal. Tidak heran, generasi berlomba-lomba membuat tingkah dan kelakuan konyol di medsos. Generasi seperti inilah yang dikenal dengan generasi alay.
Menurut wikipedia bahasa Indonesia, alay adalah sebuah istilah yang merujuk pada sebuah fenomena perilaku remaja di Indonesia yang menggambarkan gaya hidup norak atau kampungan. Selain itu, alay merujuk pada gaya yang dianggap berlebihan (lebay) dan selalu berusaha menarik perhatian. Seseorang yang dikategorikan alay umumnya memiliki perilaku unik dalam hal bahasa dan gaya hidup.
Alay merupakan sekelompok minoritas yang mempunyai karakterisitik unik di mana penampilan dan bahasa yang mereka gunakan terkadang menyilaukan mata dan menyakitkan telinga bagi mayoritas yang tidak terbiasa bersosialisasi dengannya. Biasanya para Alayers (panggilan para Alay) mempunyai trend busana tersendiri yang dapat menyebar cepat layaknya wabah virus dikalangan para Alayers yang lain, sehingga menciptakan satu keseragaman bentuk yang sedikit tidak lazim
Beberapa bulan kemarin kita dikejutkan dengan pemberitaan generasi alay, sosok Bowo Alpenliebe yang mendadak viral berkat aplikasi Tik Tok. Yang membuat miris dan mengelus dada dalam masalah Bowo ini adalah ketika menyaksikan tingkah laku fans Bowo. Saking fanatiknya dengan Bowo, di akun-akun penggemar Bowo bertebaran ungkapan-ungkapan yang di luar batas. Seperti:
“Kak Bowo ganteng banget. Saya rela ga masuk surga asal perawanku pecah sama Kak Bowo”. “Ambil aja keperawananku untuk kakak aku ikhlas”, “Bikin agama baru yuk, Kak Bowo Tuhannya, kita semua umatnya. Yang mau jadi Nabinya chat aku ya.”
“Tiada yang hebat selain tuhan kita Bowohuakbar”, “Tiada tuhan selain Bowo kalian harus tunduk sama Bowo tuhanquee. Yang ga tunduk kalian masuk neraka jahanam ya…” dan lain sebagainya. Inilah fenomena krisis remaja alay kebablasan dan sangat memprihatinkan.
Fenomena generasi alay makin tak terkendali. Setelah Bowo, terbitlah Nurrani, artis medsos lain yang terkenal lewat tik tok pula. Hanya demi popularitas, generasi mengikuti trend tanpa mengetahui manfaat dan resikonya. Kehidupan permisif dan hedonis yang melingkupi remaja pun makin mempermudah akses mereka.
Sebagian kalangan bahkan memberi julukan kepada pengguna tik tok ini dengan sebutan Generasi Perusak Moral Bangsa. Karena hampir-hampir para penggunanya tidak mementingkan nilai moral dalam segala video yang mereka buat. Bahkan ada beberapa remaja yang membuat video tik tok saat kakeknya meninggal, sedang shalat berjama’ah, dan beraksi di depan lampu lalu lintas.
Mungkin ada yang berpendapat, tik tok sebenarnya ajang untuk kreatifitas asal tidak salah kaprah. Namun kreatif yang dimaksud apakah dapat memberi kontribusi untuk masyarakat? Atau justru meresahkan masyarakat dengan merebaknya generasi alay yang krisis moral?
JFC Lahirkan Generasi Alay?
Kembali ke kota Jember, realita JFC yang rutin diselenggarakan tiap tahun pun dianggap ajang kreatifitas generasi. Tetapi jika kreatifitas ini hanya sekedar untuk tampilan fashion semata tanpa mengedepankan kualitas ketakwaan pada Allah SWT, pemahaman pada ilmu, serta kontribusi nyata untuk masyarakat, tentu apa yang dikhawatirkan anggota DPRD di atas tentang pengaruh JFC pada masa depan generasi muda patut kita renungkan.
Apalagi, demi kreatifitas, peserta JFC dibebaskan berekspresi walau terlihat seram menyerupai syetan, konyol, dan berpakaian minim yang mempertontonkan aurat. Bahkan banyak yang mengklaim bahwa ajang ini terdapat penyimpangan, seperti para anggotanya yang terkesan banci dan LGBT. Waktu shalat pun seringkali dilalaikan selama acara JFC.
Dikhawatirkan dari even JFC ini justru menjadi momen lahirnya generasi-generasi alay baru. Hal ini tentu sangat miris dan bertolak belakang dengan kota Jember sendiri yang sejak awal mendapat julukan kota santri. Akankah Jember berubah ikon karena JFC? Bukannya generasi santri yang dihasilkan, justru generasi alay. Akan menjadi apa generasi penerus ini nantinya?
Pemuda, Aset Kebangkitan
”Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia,” itulah kata-kata terkenal dari Presiden Soekarno. Kalimat tersebut bermakna betapa pentingnya keberadaan pemuda dalam suatu negara. Dalam sejarah manapun, pemuda memiliki peranan luar biasa sebagai “avant garde” (ujung tombak) perubahan. Pemuda adalah aset kebangkitan. Suatu negara akan kuat jika pemudanya kuat, dan sebaliknya negara akan lemah jika pemudanya lemah.
Ketika saat ini generasi makin krisis moral dan hilang rasa malu, kita justru membutuhkan generasi penerus yang kuat iman dan tangguh. Mencari generasi seperti ini, di zaman now ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sebab, saat ini keimanan dianggap langka dan tidak utama. Selaras dengan standar materialisme yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, bahwa kesuksesan hidup dinilai dari harta duniawi. Bukan keimanan dan ketakwaan.
Padahal tujuan pendidikan nasional sendiri, menurut UU No 20 tahun 2003, adalah bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Akankah dengan even JFC atau generasi alay akan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut? Tentu jauh panggang dari api.
Untuk mewujudkan tujuan mulia di atas, tentu dibutuhkan dukungan semua pihak serta suatu proses yang tidak mudah. Pemerintah, ulama, dan masyarakat harus komitmen untuk bersinergi dalam mewujudkan generasi yang berkualitas.
Namun sayangnya di negara sekuler seperti Indonesia, ketika aturan dari Allah SWT tidak dipakai di ranah publik, negara memberi kebebasan pada setiap orang dan semua pihak untuk berekspresi seperti apapun selama tidak ada yang memprotes. Negara tidak membatasi konten ide secara tegas. Aturan yang ada bersifat lentur, tidak ada standar yang jelas, dan mudah disiasati. Sehingga tidak heran banyak muncul tayangan yang merusak aqidah, menyebarkan paham kebebasan seperti LGBT, pornografi, dll.
Materialisme dan sekulerisme yang berkembang di masyarakat saat ini tidak lepas dari asas kapitalisme yang diterapkan. Selama menguntungkan, suatu tayangan atau even akan terus dipertahankan. Terbukti dari aplikasi tik tok yang sempat diblokir oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). Namun esoknya aplikasi ini sudah dibuka lagi dengan syarat, karena adanya tekanan dari pengusaha Cina. (www.tribunnews.com)
Sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia, tidak selayaknya negara ini menerapkan asas selain Islam. Islam telah mengandung aturan yang sempurna dari Sang Pencipta dan terbukti efektif menyelesaikan segala persoalan kehidupan. Sementara asas kapitalisme yang diterapkan adalah buatan manusia dan terbukti tidak membuat moral generasi semakin baik. Justru semakin tidak terkendali dan kebablasan. Generasi alay merajalela. Jika tidak segera dihentikan, bangsa ini akan hancur dan mudah dikuasai negara lain. Allah SWT telah memperingatkan kita dalam firmanNya, jika memilih jalan hidup selain Islam:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran: 85).
Wallahu a’lam bisshowab.