Jauh Dari Sekedar Tarik Tambang

Oleh : Ranyassifa


Beberapa hari lagi Indonesia akan merayakan Ulang Tahunnya yang bertepat pada tanggal 17 Agustus 2018 nanti. Acara perlombaan yang selalu menjadi hits ditingkat RT seolah sudah ada diluar kepala. Sebut saja, makan kerupuk, balap karung, panjat pinang dan tarik tambang. Biasanya ditambah dengan beberapa perlombaan lain. Euforia hajat tahunan ini akan disiarkan dibeberapa stasiun TV secara langsung. Yup, siapa yang tidak ingin ikut merayakan kemerdekaan negaranya? Tapi benarkah Indonesia sudah merdeka? Apa yang sudah dicapai Indonesia selama 73 tahun merdeka?


Menurut Wikipedia kemerdekaan adalah disaat suatu negara meraih hak kendali penuh atas seluruh wilayah bagian negaranya. Indonesia secara fisik memang sudah diakui wilayahnya mulai dari Sabang sampai Merauke. Namun, bagaimana dengan aspek lain? Seperti politik, ekonomi dan budaya?


Lalu apa yang sudah dicapai Indonesia selama 73 tahun? Kita sama-sama tahu bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar sudah tembus hingga Rp 14.500. Hutang Indonesia pun tidak main-main. Hingga Juni 2018 hutang Indonesia mencapai 4.996 Triliun. Belum lagi tingkat kemiskinan yang meningkat. Menurut World Bank Indonesia masuk peringkat 3 besar penduduk miskin dikota. Melihat fakta miris dilapangan tentu bertolak belakang dengan jumlah kekayaan alam di Indonesia. Dari sektor tambang saja 75% dikuasai asing. Sisanya 25% milik Indonesia dan swasta. Jelas ini akan mengancam kedaulatan perekonomian Indonesia. Tapi, ditanggal 17 Agustus nanti bisakah kita menarik kembali tambang-tambang tersebut? Atau kita hanya bisa ikut tarik tambang massal seperti biasa?


Dalam Islam, sebuah negara bisa dikatakan merdeka jika negara tersebut bebas dari penjajahan secara fisik, ekonomi, politik dan budaya. Yang artinya terbebas juga dari tekanan negara yang menjajahnya atau lainnya. Namun fakta yang terjadi dilapangan adalah sebaliknya. Dimana intervansi asing marak dibumi pertiwi. Masih kental diingatan kita tentang serbuan TKA yang leluasa masuk ke Indonesia mulai tenaga ahli hingga buruh kasar. Jika tenaga ahli memang diperlukan, tentu ini bukan masalah besar. Tapi, jika sampai buruh kasar juga masuk wajar apabila timbul pertanyaan dimasyarakat sekalipun pemerintah bersikeras membantahnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak