Oleh : Siti Subaidah
(Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
Akhir-akhir ini akrab ditelinga kita istilah “Islam Nusantara”. Konsep terbaru tentang islam ini diusung oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj yang berpendapat bahwa islam nusantara adalah islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran. Tidak seperti islam arab yang selalu konflik dengan sesama islam dan perang saudara. Menurutnya islam nusantara diemban dengan pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yg kaku dan keras dimana islam nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya," katanya usai acara kepada BBC Indonesia. (httpshttps://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150614_indonesia_islam_nusantara)
Dengan munculnya istilah baru ini, menimbulkan polemik ditengah masyarakat terutama para ulama dimana sebelumnya tidak pernah ada istilah semacam ini dalam islam yang membatasi islam hanya lewat batas teritorial suatu negara. Dikalangan para ulama pun, ada yang menyatakan setuju namun banyak pula yang menolak konsep ini, salah satunya MUI Sumatera Barat yang menuangkan 7 alasan terkait penolakannya terhadap konsep islam nusantara ini.
Lalu bagaimanakah kita sebagai masyarakat menanggapinya? Perlu diketahui bahwa jika islam nusantara diartikan sebagai islam yang lebih toleran atau islam yang tidak kaku maka ini tidak lah jauh dari pengertian islam moderat (islam jalan tengah) yang sempat digembar gemborkan beberapa tahun silam. Islam moderat sendiri menurut Rand Corporation dalam “Building Moderate Muslim Networks” menjelaskan salah satu karakter Islam moderat, yakni menghormati sumber hukum yang non sekterian ( non agama), termasuk didalamnya adat istiadat dan budaya. Maka dari sini istilah islam nusantara hanyalah konsep hasil ganti baju dari islam moderat yang dulu memang kurang diterima masyararakat karena istilahnya yang terlalu identik dengan barat. Maka dengan adanya perubahan istilah ini, bukan tidak mungkin konsep islam nusantara dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat, mengingat masyarakat kita tergabung dari berbagai macam kultur budaya yang masih menjujung dan memegang erat budaya di daerahnya masing-masing.
Kata “Nusantara” dengan embel-embel budaya yang disematkan pada konsep ini seolah mempercantik dan baik untuk diambil. Apalagi sebagai orang Indonesia sudah tertanam dibenak kita untuk melestarikan budaya Indonesia agar tidak hilang. Namun, konsep ini agaknya juga kurang pas untuk dipakai. Kita ketahui Indonesia kaya akan keragaman budaya. Antara daerah satu dan daerah lainnya berbeda-beda, bisa jadi dalam hal budaya pun berseberangan. Sebagai contoh budaya pakaian di daerah papua dan aceh sangat bertolak belakang. Papua dengan koteka dan Aceh dengan pakaian tertutup. Jika budaya yang dijadikan acuan maka budaya mana yang mau dipakai?.
Disatu sisi banyak budaya indonesia yang bertentangan dengan hal-hal dasar dalam islam. Tradisi minum tuak di Tuban misalnya, masyarakat disana sejak dulu sudah terbiasa dengan minuman khas ini bahkan minuman ini sifatnya “wajib” ada dan menjadi jamuan pada acara adat atau ritual tradisional di Tuban. Tidak jarang tuak menjadi jamuan anak muda ketika kedatangan tamu dari daerah luar Tuban. Sedangkan dalam islam, minuman beralkohol mutlak keharamannya tidak ada pengecualian. Jika kemudian islam harus menyesuaikan dan merangkul budaya, ini sama artinya dengan menghilangkan nilai-nilai islam itu sendiri. Ini tentu sangat berbahaya bagi aqidah umat muslim.
Disamping itu ada hal lain yang perlu diperhatikan, konsep islam nusantara ini nantinya bisa ditarik ke isu-isu lain yang fundamental. Nikah beda agama misalnya, dalam islam ini jelas diharamkan namun bukan tidak mungkin ini bisa jadi dilegalkan jika mengacu pada pengertian islam nusantara adalah islam yang lebih toleran dan tidak kaku. Bahkan isu-isu gay, lesbian dan turunannya pun bisa ikut-ikutan
Dari sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa konsep “ Islam Nusantara” hanyalah upaya pengkotak-kotakan dan pengkerdilan ajaran-ajaran islam. Budaya yang diangkat sebagai filter malah akan memecah belah umat. Di dalam islam, tidak ada pelarangan akan budaya. Nabi Muhammad SAW diutus ditengah-tengah masyarakat yang telah memiliki budaya. Ketika islam datang, Nabi mengislamkan budaya-budaya tersebut maksudnya dengan mengambil budaya yang baik dan membuang budaya yang buruk atau merusak. Bukannya menyesuaikan islam dengan budaya-budaya tersebut. Walaupun kemudian ada kaidah dalam ilmu fiqih yaitu “ Adat dapat dijadikan acuan hukum” hanya saja tentu ini memiliki syarat tertentu yakni tidak bertentangan dengan islam itu sendiri, misalnya adab memuliakan tamu.
Oleh karena itu, penting bagi kita kaum muslimin untuk sadar dan tegas menolak konsep ini. Jangan sampai kita terjebak bahkan terlena dengan propaganda-propaganda yang nantinya berujung pada perpecahan kaum muslimin. Islam adalah rahmatan lil alamin, maka sudah seharusnya islam itu universal, bukan hanya terbatas pada kata nusantara. Wallahu a'lam bishawab