Oleh : Tri S, S.Si
Pemilu kembali gempita. Rakyat kembali berharap. Partai-partai kembali panen mahar politik. Para calon penguasa kembali tebar janji kosong. Tim sukses kembali menangguk untung. Penyebab kehancuran negeri ini adalah idiologi dan sistem kapitalis (ekonomi liberal dan politik demokrasi). Negara dengan penguasa boneka hanya menjadi regulator. Dengan regulasi pesanan pemodal. Kekayaan alam menjadi milik swasta. Dengan alasan negara tak punya dana maka semua sektor publik yang menguasai kehidupan rakyat diswastanisasi, dari hulu sampai hilir; termasuk air bersih, listrik, BBM, pendidikan bahkan kesehatan. Untuk penyelenggaraan negara, penguasa pun memeras rakyat dengan pajak yang mencapai 80% pendapatan dalam APBN. (Antara,LPEM FE UI).
Idiologi sekuler mengharuskan negara berdiri netral terhadap semua agama dan keyakinan. Agama tidak boleh mengatur negara, termasuk Islam yang menjadi agama bagi mayoritas penduduk negeri ini. Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan telah disingkirkan secara permanen oleh negara. Akibatnya, kehidupan umat Islam makin hari makin jauh dari agamanya.
Bagaimana Islam menyelesaikan semua karut-marut kehidupan di negeri ini? Bagaimana cara Islam agar penguasa yang terpilih bukan antek pengusaha, namun benar-benar pelayan umat?
Dalam pemerintahan negara Islam: Kedaualatan ditangan syariah, dengan demikian secara otomatis syariahlah yang menentukan segalanya, bukan manusia seperti dalam sistem demokrasi. Karena itu siapapun penguasanya tidak berwenang membuat UU yang bertentangan dengan syariah. Para pengusaha tidak bisa mengintervensi pembuatan UU agar memberikan pengistimewaan kepada mereka. Anggota Majelis Umat juga tidak bisa mengintervensi penguasa atas kepentingan para pengusaha.
Konsepsi kepemilikan umum memutus rantai penjajahan dalam ekonomi oleh konglomerat. Sistem Islam memastikan agar rakyat memperoleh kesejahteraan yang menjadi haknya. Kekayaan alam milik umum tidak boleh sama sekali dikuasai swasta. Apalagi swasta asing. Karena itu penguasa tidak berhak menyerahkan pengelolaan migas, misalnya, harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini dengan sendirinya akan mampu menjauhkan para penguasa menjalin KKN dengan pengusaha.
Sikap tegas memberantas korupsi dan kolusi. Kalau memang korupsi telah terjadi, syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan,seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al ‘Uqubat, hlm. 78-89).
Dalam negara Islam hanya pemimpin yang dipilih. Bisa dipilih langsung oleh rakyat maupun melalui perwakilan umat Islam di Majelis Umat. Adapun kepala daerah seperti para wali (gubernur) dan para amil (setingkat bupati) ditunjuk oleh Khalifah. Itu pun tidak regular karena masa jabatannya tidak dibatasi. Selama penguasa konsisten menerapkan syariah Islam secara kaffah maka dia bisa menjabat sampai seumur hidup.
Para anggota Majelis Umat yang merupakan representasi rakyat bisa dipilih melalui Pemilu atau tidak. Teknisnya bisa ditentukan mana yang paling tepat. Namun, yang pasti tidak ada kepentingan para pengusaha kepada mereka untuk membuat UU pesanan karena fungsi Majelis Umat bukan membuat hukum.
Dengan demikian sistem pemerintahan dalam Islam meniscayakan Pemilu yang murah, namun menghasilkan penguasa yang mumpuni dan pasti berpihak kepada rakyat. Sebab, ia hanya menjalankan syariah Islam yang sudah fixed. Karakter syariah Islam adalah menyejahterakan seluruh rakyat. Inilah solusi sesungguhnya. [Tri S]
(Penulis adalah pemerhati perempuan dan generasi)