Fanatisme Mengganggu Penentuan Hari Raya

Oleh: Arin RM, S.Si

(Member TSC, Frelance Author)

KBBI mendifinisikan fanatisme sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya). Dalam hal beragama, Islam mendifinisikan fanatisme ini dalam istilah Ashobiyyah. Fanatisme sebenarnya bisa mewujud dalam banyak hal. Bisa berlaku terhadap suku, bangsa, ras, dan konsep kewilayahn yang lainnya. Yang jelas keberadaanya cenderung memicu pertentangan, sebab masing-masing merasa paling. Paling paham, paling yakin, paling kuat, dan bisa juga paling benar.

Maka, Rasulpun melarangnya: “Barangsiapa yang terbunuh di bawah bendera (fanatisme) buta, mengajak pada ashobiyyah atau menolong karena ashobiyyah (fanatik), maka matinya seperti mati Jahiliyyah” (H.R Muslim dari Jundab bin Abdillah al-Bajaliy). Terlebih, eksistensi ashabiyah akan menjadikan persatuan muslim jauh panggang dari api. Akibatnya, penjajah akan merasa bisa tetap bebas menancapkan pengaruhnya untuk terus menjarah kekayaan negeri-negeri muslim. 

Oleh karenaya, penjajah memodifikasi ashobiyah sedemikian rupa menjadi format berwajah baru bernama nasionalisme. Nasionalisme menurut Hans Kohn diartikan sebagai “keadaan pada individu yang dalam pikirannya merasa bahwa pengabdian paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air” (mustanir.com, 2015). Dan inilah senjata ampuh melemahkan dan mencegah persatuan muslim. Syeikh Taqiyyudin An Nabhani mengatakan “Nasionalisme bukan ide yang layak untuk membangkitkan umat manusia” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).

Nasionalisme sengaja dimainkan untuk memantik konflik sesame muslim. Persatuan muslim di seluruh dunia dipecah. Kebangkitan terus dicegah. Dibangun egosentris berwilayah. “Kita beda negara, maka beda penetapan hari raya”, begitulah sederhananya. Kesusksesan neo-ashabiyah ini saat ini nampak kembali. Ada perbedaan antara Makkah dan negeri ini dalam penentuan hari raya idul adha. Bahkan sempat dipertanyakan dalam headline media elektronik: “Idul Adha di Saudi 21 Agustus, Mengapa di RI Baru Esoknya?” (news.detik.com, 13/08/2018). 

Padahal mengutip dari tulisan ustadz Shiddiq al Jawi, Penentuan Idul Adha (10 Dzulhijjah) bergantung pada penentuan awal bulan Dzulhijjah. Dalam hal ini para fuqaha sepakat, bahwa penentuan awal bulan Dzulhijjah hanya didasarkan pada rukyatul hilal saja, bukan dengan hisab. Ini ditegaskan oleh Syaikh Abdul Majid al-Yahya dalam kitabnya Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah,” Tak ada khilafiyah di antara fuqaha, bahwa rukyatul hilal adalah standar/patokan dalam penentuan masuknya bulan Dzulhijjah….” (Abdul Majid al-Yahya, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar’iyah, hal. 198). 

Khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah yang terkait dengan Idul Adha, rukyatul hilal yang menjadi patokan utama adalah rukyatul hilal penguasa Makkah. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan. Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata,“Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata,”Rasulullah telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud, hadits no 2339).

Seharusnya, umat Islam di seluruh dunia yang tidak sedang menunaikan ibadah haji menjadikan penentuan hari Arafah di tanah suci sebagai pedoman. Bukan justru berbeda seperti sekarang ini. Perpecahan ini adalah barometer gratis bagi penjajah untuk mengukur indeks kesatuan umat. Untuk perkara hari raya yang identik dengan kebahagiaan saja masih berbeda, maka urusan melawan dominasi asing dalam urusan pembebasan penjarahan SDA pasti tidak jauh berbeda. 

Perpecahan ini harus dihentikan. Caranya, umat Islam harus bersungguh-sungguh, dengan segala daya dan upaya masing-masing, untuk berjuang mengenyahkan fanatisme meskipun diberi nama nasionalisme. Islam tidak mengenal dengan namanya nasionalisme bahkan paham ini jelas harus dijauhi, tidak boleh diperjuangkan. Rasulullah mempersatukan kaum muhajirin dan anshor dengan satu landasan yaitu akidah Islamiyah. Bukan karena landasan nasionalisme atau yang lainya. Rasulullah mengumpamakan kita seperti satu tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.

Umat pun harus menghilangkan induk pemelihara nasionalisme yakni demokrasi kapitalis, untuk kemudian menggantinya dengan Islam saja. Untuk perjuangan ini, kita dituntut untuk rela berkorban, sebagaimana pelajaran dari peristiwa besar yang selalu diingatkan kepada kita, yaitu kesediaan Nabi Ibrahim as. memenuhi perintah Allah mengorbankan putranya, Ismail as. Lalu dengan penuh tawakal menjawab seruan Allah, memperjuangkan kembali Islam yang menyatukan seluruh muslim dunia, termasuk dalam urusan penentuan hari raya. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyeru kalian demi sesuatu yang dapat memberikan kehidupan kepada kalian.” (TQS al-Anfal [8]: 24). [Arin RM].


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak