Oleh: Mala Oktavia
Pelajar SMAN 1 Bojonegoro
“Wahai orang-orang yang beriman. Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”(Surat An-Nisa', Ayat 135)
Segala puji hanya bagi Allah Tuhan semesta alam, yang menciptakan manusia untuk menjadi khilafah di bumi ini, mengatur dan mengurus kehidupan sesuai dengan syari’at-Nya.
Tiada yang mampu diamanahi al-Quran al-kariiim kecuali hanya manusia, gunung menolak, bahkan laut pun menjadi kering ketika diutus Allah mengemban al-Quran. Di sinilah keistimewaan manusia, dia kuat, mampu, dan yang terbaik dia memiliki akal untuk memikirkan segala sesuatu. Maka Allah menjadikannya khalifah, pemimpin yang mengatur dan menjadi panutan.
Cukup hanya di situ? Ternyata tidak. Bila hanya sekadar mengatur, semua orang pun bisa, apalagi menjadi panutan, artis pun banyak yang diikuti penggemarnya. Tapi menjadi khalifah di sini bermakna mengatur urusan umat dengan aturan-aturan Islam (Syari’at Islam). Sesuai dengan buku pedoman yang Allah turunkan yaitu al-Quran.
Maka bila dia menyimpang dari al-Quran berarti dia telah keluar dari jalur yang seharusnya, tapi faktanya banyak pemimpin negeri ini yang justru bangga telah menyimpang dari al-Quran. Ideologi barat diemban kuat-kuat, sedangkan aturan agamanya sendiri hanya ditumpuk bersama buku-buku literatur dalam rak yang ringkih. Akhirnya bukanlah kesejahteraan yang didapat, justru ikatan kepentingan yang senantiasa menghiasi.
Banyak janji-janji yang diumbar semasa kampanye, tapi bila telah menjadi pemimpin, janji-janji hanya bagai puisi yang hadirnya hanya untuk dinikmati sesaat. Tentu bukan pemimpin seperti ini yang kita harapkan, apalagi di masa perebutan kursi pertama negeri, banyak drama politik yang dipajang.
Mulai dari penyuapan, kader pendukung, hingga drama hipokrisi yang menghiasi para pejabat negeri. Gonta-ganti pihak yang didukung dan pendukung, bukti tidak konsistennya sistem demokrasi liberal. Anehnya yang selalu menjadi sasaran adalah umat Muslim, dikejar untuk mendongkrak suara dan mewujudkan impian mereka.
Ulama-ulama dipilih berdasar nafsu mereka, sehingga bisa berfatwa sesuai dengan keinginan hati mereka. Dipilih dari seluruh pelosok Indonesia, seakan ulama-ulama harus punya ijazah untuk menyampaikan kebenaran, yang tak dipilihi tak boleh tampil. Namun yang tampil pun hanya sebagai alat penyukses untuk mengambil hati rakyat sehingga mendukung penguasa.
Sungguh aneh memang, ketika pemimpin disatu sisi gencar mengkriminalisasi ajaran Islam dan menyebut perjuangan menerapkannya sebagai tindakan radikal yang membahayakan negara, namun dipihak lain mereka membutuhkan Islam dan simbol-simbolnya sebagai alat legitimasi kekuasaan dan mendulang suara.
Rakyat saat ini memang dituntut untuk paham dengan kondisi negerinya, sehingga rakyat tahu bagaimana sistem demokrasi liberal telah menggerus masa depan mereka. Politik hanya menjadi ajang kepentingan beberapa pihak, bukan untuk mengatur umat. Akankah rakyat masih percaya dengan gaya kepemimpinan seperti ini? Sekularisme harus diganti dengan sitem yang lebih baik yaitu sistem Islam, yang mengatur manusia dalam segala aspek kehidupan, tak pernah walau hanya sekali mendzolomi umat manapun. Kehidupan akan bangkit dengan sistem paripurna ini, sedangkan sekulerisme adalah ancaman sesungguhnya bagi negara dan rakyatnya.