Oleh : Halimatussakdiah, S.S
(Alumni Sastra Arab FIB USU)
Bulan ke delapan dalam hitungan kalender masehi kini telah menyapa kita. Benar, Agustus bukan hanya salah satu bulan masehi semata, namun menjadi satu bulan yang sakral bagi penduduk negeri gemah ripah lohji nawi, ialah Indonesia. Pasalnya, ikrar kemerdekaan negeri ini tercetus tepat 73 tahun lalu pada tanggal 17 Agustus 1945 yang menjadi satu dari perayaan nasional yang dimeriahkan oleh penduduk negeri yang pernah bernamakan Nusantara sebelum kemerdekaan.
Euforia kemerdekaan menjadi filosofi pelbagai kegiatan dilaksanakan. Mulai dari upacara pengibaran sang merah putih di setiap sudut negeri, baik itu di darat, laut maupun udara. Bukan sekedar itu, ada lagi bermacam perlombaan yang menghadirkan gelak tawa, teriakan semangat dan tentu saja pejuang untuk memenangkan lomba. Begitulah potret turun-temurun dalam merayakan arti kemerdekaan.
Namun dalam nuansa merah putih yang mulai menghiasi setiap tatapan mata, ada hal yang tampaknya menunjukkan geliat menuju kemerdekaan hakiki. Ya, geliat menuju pada penghambaan hanya kepada Rabb semesta alam. Bukan kepada penghambaan atas apa yang ditawarkan oleh aturan hari ini, yang memaksa manusia utk menghamba pada manusia.
Pekan lalu, entah mengapa secara berturut-turut banyak fakta yang penulis temui menjadi potret bahwa manusia hari ini sudah berjalan pada kemerdekaan hakikinya. Penulis mendapati di kota tempat berdomisili hari ini, bergeliat orang-orang yang mulai terang membedakan mana kebenaran dan kebatilan. Misal dalam perkara riba. Enam tahun lalu, untuk menyatakan riba haram secara nyaring sering jadi bully-an dan dianggap sok suci. Lantaran sebagian orang menganggap, bagaimana mau hidup kalau tidak terlibat praktik riba. Mau memenuhi kebutuhan pakai apa? Pakai daun? Namun hari ini dengan penuh optimistis, mereka berjalan menuju kemerdekaan nya menata kehidupan tanpa riba, apakah itu dengan menghentikan praktik riba dengan segala resiko yang ada, menghadiri majelis ilmu yang memaparkan dengan gamblang keharaman riba dan ganjarannya. Maka tak heran, bukan barang langka mencari majelis yang menguliti riba.
Lain lagi dalam perkara generasi. Banyak orangtua dan orang-orang yang peduli akan generasi masa depan mulai berjalan menuju kemerdekaannya. Disaat penulis masih duduk di bangku kuliah, sedikit sekali ditemukan wadah bagi generasi untuk mempelajari pedoman hidupnya (red. Alquran) apakah itu belajar memperbaiki bacaan atau mempelajari maksud kalam ilahi tersebut. Namun di zaman milenial hari ini, wadah inspirasi untuk generasi dekat dan cinta dengan pedoman kemerdekaannya bak jamur di musim hujan. Banyak dan tak sedikit yang menggratiskan dalam rangka wakaf atau infaknya. Output-nya apa? Anak muda dengan talenta hafalan dan dakwah kekinian pun mewarnai jagad raya. Keren, banyak orang yang tercerahkan dan sama-sama menuju kemerdekaan hakikinya.
Bagaimana dengan kaum hawa? Nah, yang ini juga di permulaan penulis hijrah, yakni 7 tahun lalu sblm Indonesia merdeka ke 73, banyak cercaan dan disangka makhluk entah dari mana dengan pakaian yang menutupi sekujur badan. Bisik-bisik tetangga seperti lirik lagu dangdut pun menerpa. Ada yang bilang ustadzah lah, sok alim, emak-emak, teroris dan segala macam rupa. Namun let's see, dewasa ini hijab syar'i penutup aurat nan mulia para hawa jadi outfit of the day (ootd) mereka. Apapun jenis occasionnya, hijab syar'i harga mati. Apatah itu ke pasar, ke kondangan, ke kampus atau sekolah bahkan berolahraga dan bekerja bukan hal yang memusingkan kepala untuk mengenakan si hijab. Para muslimah pun kini berjalan menuju kemerdekaan hakikinya.
Dan yang semakin menjadikan hari kemerdekaan itu kian nyata, ketika umat hari ini sudah tak malu dan tak sungkan membicarakan segala aspek dengan sudut pandang akidahnya. Misalnya dalam perkara pemimpin, keinginan umat agar ulama menjadi pemimpin nya bukan sekedar dalam ranah ibadah ritual semata namun juga dalam ranah bernegara adalah potongan dari geliat persatuan ummat untuk berjalan menuju kemerdekaan hakikinya. Bukti umat rindu akan pemimpin sebenarnya, dan sudah tak berharap dengan tawaran dari pemimpin yang mengada-ada. Tak lama bisa dibohongi oleh taktik sistem kufur yang hari ini tegak. Tegas mengambil sikap dan langkah untuk menuju kemerdekaan hakiki, menjadikan aturan Rabb semesta alam saja sebagai pengatur seisi bumi dan angkasa.
Penulis jadi teringat surat yang ditulis Rasulullah Saw kepada penduduk Najran. Diantara isinya berbunyi : "...Aku menyeru kalian untuk memghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba(manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)..." (Al-Hafidz Ibnu Katsir, Al Bidayah wa an-Nihayah)
Maha benar Allah atas segala kehendakNya. Ialah muara dari perjalanan kemerdekaan hakiki para hamba. Dan dengan keyakinan yang terpatri dalam dada, hari kemerdekaan hakiki itu kian dekat dan nyata. Wallahu a'lam bishawwab.