Oleh : Mukhy Ummu Ibrahim
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Tahun panas saat akan berlangsungnya hajat demokrasi 5 tahunan sudah di depan mata. Partai-partai politik peserta Pemilu pun tengah bersiap menyambutnya. Banyak upaya yang dilakukan demi langgengnya kursi-kursi di DPR. Mereka melakukan segala upaya demi mendulang suara di tahun 2019. Dalam Pemilu demokrasi jumlah suara memang menjadi 'dewa'. Sebab dengan banyaknya suara itulah mereka bisa memperoleh kekuasaan dalam pemerintahan.
Banyak cara telah ditempuh oleh partai-partai juga para politisinya demi bisa tetap memperoleh kesempatan berkuasa di senayan. Beberapa politisi memilih untuk berpindah partai demi memuluskan jalan memperoleh bagian kue kekuasaan. Melepaskan segala idealisme dan gengsi meski sebelumnya sudah saling sikut kanan kiri. Begitulah dalam demokrasi, tidak ada teman atau musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang terus dijunjung tinggi.
Selain fenomena berpindahnya politisi dari satu partai ke partai lain, ada satu fenomena lagi yang patut disoroti. Yaitu fenomena banyaknya artis yang diusung oleh partai sebagai bakal calon legislatif. Tidak hanya satu dua tapi jumlahnya cukup fantastis.
Tidak kurang ada sekitar 54 artis yang telah mendaftar di Komisi Pemilihan Umum sebagai calon legislatif. Dari jumlah tersebut, Partai Nasdem menjadi partai pengusung artis terbanyak yaitu 27 orang artis. Sementara PDI Perjuangan di urutan kedua dengan 13 orang caleg artis, disusul PKB sebanyak 7 orang. Jumlah sisanya berasal dari partai-partai lain di antaranya Giring Nidji yang berasal dari PSI. (antaranews.com)
Melihat fenomena ini, banyak pihak yang mengkritisi. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus,mengatakan bahwa partai politik saat ini bersifat pragmatis. Mereka enggan bekerja keras untuk meraih hasil gemilang.
Sementara menurut Pangi Syarwi Chaniago, pengamat politik, partai politik saat ini bergerak menjadi match all party atau mengambil figur dari seluruh kalangan. Tentu saja dengan nyaris mengabaikan kapabilitas mereka sebagai seorang politisi nantinya. Minimnya kaderisasi internal partai membuat mereka 'comot sana sini' saat mengajukan bakal caleg.
Analis politik dari LIPI, Syamsyudin Haris, juga mengatakan bahwa dengan diusungnya caleg dari kalangan artis justru bisa meminggirkan caleg lain yang lebih mumpuni tetapi kurang populer dan minim modal. Hingga akhirnya integritas dan kapabilitas caleg terpilih nanti benar-benar diragukan. Mengingat mereka terpilih hanya karena faktor kepopuleran.
Meskipun demikian, beberapa pihak menganggap sah-sah saja jika partai mengusung caleg dari kalangan artis. Menurut mereka para artis tersebut juga memiliki kapabilitas masing-masing. Bahkan menurut PDI Perjuangan para artis inilah yang digadang-gadang akan berkontribusi bagi kemajuan bangsa dari sektor kebudayaan. Walaupun tepatnya dengan cara seperti apa tidak pernah diungkapkan.
Seorang calon legislatif yang seharusnya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan pengalaman di bidang politik kini hanya bermodalkan kepopuleran. Partai-partai memilih cara instan ini demi meraup suara sebanyak-banyaknya dalam Pemilu 2019 nanti.
Dengan munculnya wajah-wajah populer yang sudah dikenal oleh masyarakat diharapkan akan mendongkrak perolehan suara. Bahkan partai pengusung artis ini bisa memperoleh juru kampanye gratis dengan adanya para artis yang memang sudah tersohor sebagai figur publik. Walhasil, mereka tidak harus bekerja keras untuk menarik hati masyarakat calon pemilih.
Sungguh sangat disayangkan, dengan kondisi negara kita yang sedang dirundung aneka permasalahan yang begitu pelik, justru aksi pragmatis parpol dan para petingginya semakin menjadi-jadi. Alih-alih menyiapkan kader-kader yang benar-benar mumpuni yang akan mengurai permasalahan tersebut, parpol hanya fokus pada banyaknya suara yang ingin diraih. Tentu saja demi melanggengkan kekuasaan mereka. Sementara permasalahan negara entah menjadi prioritas yang ke berapa.
Fenomena ini dalam alam demokrasi memang sudah biasa terjadi. Sikap pragmatis dengan menempuh segala cara demi sepotong kue kekuasaan nyaris sudah menjadi tradisi. Seperti yang terjadi saat ini. Kisruh internal parpol membuat macet kaderisasi. Akhirnya jalan pintas pun ditempuh dengan menjadikan kepopuleran artis sebagai daya tarik partai. Tanpa memperdulikan apakah mereka layak atau tidak duduk sebagai politisi.
Politik yang sejatinya adalah pengaturan urusan umat kini menjadi ajang lomba asal menang, ajang eksistensi diri dan hiburan semata. Padahal dunia politik membutuhkan orang-orang yang memang punya kapasitas mengatur urusan umat. Tentu saja dengan pemahaman yg benar. Bahwa mereka sebenarnya adalah pelayan bagi rakyatnya. Dan bukan sebaliknya, mereka yang minta dilayani dan menuntut fasilitas ini itu. Sementara kinerjanya belum tentu bisa diandalkan.
Para politisi juga seharusnya adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang benar. Yaitu mereka yang menyadari bahwa segala perbuatan akan ada pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sehingga mereka tidak akan berbuat sewenang-wenang. Mereka juga memahami setiap posisi yang mereka tempati adalah amanah dari rakyat. Dengan demikian tidak akan ada politisi berjiwa pengkhianat. Yang hanya pandai menebar janji tanpa pernah ada realisasi justru yang banyak terjadi adalah tindak korupsi.
Jauh berbeda dengan yang terjadi pada era demokrasi saat ini, dalam islam, politik adalah sesuatu yang agung. Hal ini dikarenakan politik sebenarnya merupakan bagian dari hukum syara yang menjadi induk pelaksanaan hukum-hukum syara yang lainnya.
Orang-orang yang terjun dalam politik praktis atau ranah kekuasaan bisa dipastikan merupakan orang yang memiliki pemahan Islam yang bagus. Sehingga mereka benar-benar memahami tanggungjawabnya dalam mengurus urusan umat. Tidak hanya itu, mereka juga siap menjalankan kepemimpinannya berdasarkan pada hukum-hukum syara secara menyeluruh tanpa kecuali.
Kita tahu sejarah mencatat bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khatab r.a. menjalankan kepemimpinannya. Setiap hari yang dilakukan oleh Khalifah Umar adalah memastikan segala kebutuhan rakyatnya terpenuhi. Sampai-sampai beliau rela berpatroli setiap malam untuk mengetahui bagaimana keadaan rakyatnya. Apakah tercukupi atau tidak.
Dan ketika beliau mendapati ada rakyatnya yang masih kekurangan maka beliau pun rela mengantarkan kebutuhan rakyat tersebut seorang diri. Hal ini disebabkan beliau sangat memahami akan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin yang wajib mengurus umatnya. Dan keyakinan beliau bahwa segalanya akan dipertanggungjawabkan. Tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat kelak.
Khalifah Umar hanyalah salah satu contoh gambaran seorang pemimpin dalam Islam. Pemimpin yang hanya ridha Allah yang dicarinya. Bukan kekuasaan, ketenaran apalagi materi. Masih banyak lagi kisah-kisah yang menggambarkan kemuliaan dan sifat amanah para pemimpin dalam Islam. Jika saja para politisi kita mau meneladani.
Jadi jelas sekali bahwa politik bukanlah ajang coba-coba apalagi sekedar untuk eksistensi diri. Seperti dalam alam demokrasi saat ini. Ketika siapa saja bisa mengajukan diri untuk ikut serta dalam politik. Tanpa peduli ia mumpuni atau tidak.
Terlebih ketika suara terbanyak yang dijadikan acuan kemenangan dan setiap suara dianggap sama kedudukannya tanpa memperdulikan 'isi' kepala. Maka segala cara bisa ditempuh agar suara dapat diperoleh sebanyak-banyaknya.
Maka, jauh panggang dari api ketika kita berharap demokrasi mampu melahirkan politisi yang benar-benar mumpuni. Dalam Islam, amanah hanya diberikan kepada orang-orang yang memang mampu mengemban amanah itu sebaik-baiknya. Terlebih amanah untuk mengurus urusan rakyat.
Pencalonan caleg dari kalangan artis sejatinya hanya menunjukkan sikap parpol yang makin pragmatis. Semoga umat semakin kritis dan mampu berpikir politis untuk meninggalkan demokrasi yang tak lagi demokratis. Dan kembali pada aturan Islam yang akan mengurai segala krisis. Dimana para politisinya bukanlah sekedar orang yang berlagak politis. Akan tetapi mereka yang mampu dan benar-benar sanggup mengemban amanah.