AGAR KEMERDEKAAN TAK SEBATAS EUFORIA

Oleh : Irianti Aminatun

Bulan Agustus adalah bulan bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada bulan itu Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia dari penjajahan fisik bangsa-bangsa penjajah.

Setiap Agustus pula rakyat merayakan hari kemerdekaan dengan semarak. Setiap rumah memasang merah putih lengkap dengan pernak-perniknya. Anak-anak dan orang dewasa bersukaria mengikuti berbagai perlombaan.

Setelah 73 tahun merdeka, ada baiknya kita merenung, benarkah hakikat kemerdekaan sudah kita raih? Atau kita sekedar lepas dari belenggu penjajahan fisik, dan beralih ke penjajahan non-fisik?

Merdeka dalam pandangan Soekarno sebagai founding father negeri ini adalah “ secara eksternal mempresentasikan kebebasan sejati dari genggaman kekuasaan bangsa lain. Dari sisi internal, merdeka adalah suatu ikhtiar perwujudan kesejahteraan bersama seluruh pelaku bangsa tertentu yang mendiami suatu wilayah tertentu”. (kompasiana.com).

Dengan standar sebagaimana yang dikehendaki Soekarno saja jelas negeri ini belum merdeka secara hakiki. Secara de facto negeri ini masih terjajah  melalui jeratan hutang.  Utang Luar Negeri Indonesia pada akhir Mei 2018 telah mencapai US$ 358,6 miliar atau setara dengan Rp 5.075,3 triliun rupiah dengan kurs 1 dolar = Rp 14,153. Utang sebesar itu tentu menjadi masalah serius yang membahayakan negara. Kebahayaan itu bisa dilihat dari :

Pertama Penambahan utang adalah konsekwensi kebijakan pemerintah untuk mengejar pembangunan infrastruktur yang menjadi target utama pembangunan. Padahal pembangunan infrastruktur tidak banyak berpengaruh pada sektor pertanian, perikanan dan industri kecil yang merupakan bagian fundamental ekonomi Indonesia. Bagian fundamental ekonomi ini justru terabaikan. Sektor yang terkena dampak positif dari pembangunan infrastruktur adalah industri semen, baja, besi dan sejenisnya yang umumnya dimiliki oleh elite pengusaha raksasa dan BUMN. Ini berarti pembangunan infrastruktur hanya menguntungkan para kapitalis, bukan menguntungkan rakyat kecil.

Kedua, utang merupakan instrumen penjajahan secara ekonomi dan politik terhadap suatu negara. IMF, World Bank dan lembaga keuangan dunia lainnya telah menjerat negeri ini dengan jebakan hutang. Akibatnya negara mudah didikte untuk menjalankan kebijakan ekonomi dan politiknya sesuai kepentingan penjajah. Profesor Carrol Quiqley dari Harvard University mengatakan bahwa lembaga-lembaga keuangan internasional ditujukan untuk menciptakan sistem kontrol keuangan dunia yang mampu mendominasi sistem politik tiap negara dan menguasai ekonomi dunia secara keseluruhan. (Media Umat Edisi 224)

Inilah fakta kebijakan ekonomi negeri ini yang mengadopsi kebijakan ekonomi neoliberal yang lebih pro pasar dan pro kapitalis ketimbang pro rakyat. Pembangunan dibiayai dari hutang, kekayaan migas dan tambang dikuasai asing. Ironisnya semua itu dilegalkan Undang-Undang.  Rakyat dibebani dengan berbagai pungutan pajak yang sangat memberatkan.

Kebijakan ekonomi neoliberal juga membuat kekayaan negeri ini hanya terkonsentrasi pada beberapa gelintir orang, sementara jutaan rakyat tetap miskin. Oxfam, organisasi non profit yang berbasis di Inggris, bersama INFID menemukan bahwa harta empat orang terkaya di Indonesia sama dengan harta yang dimiliki oleh sekitar 100 juta orang miskin. (Al Wai edisi Maret 2018).

Di bidang Pendidikan, kapitalisasi pendidikan menyebabkan banyak warga negara tidak bisa mengakses pendidikan. Data UNICEF 2016 menyebutkan sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar dan 1,9 juta anak usia SMP.

Begitu pula data statistik yang dikeluarkan oleh BPS, bahwa di tingkat provinsi dan Kabupaten menunjukkan terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. (https://student.cnnindonesia.com)

Di bidang sosial gaya hidup kapitalis seperti free seks, permisivisme, pornografi, semakin meluas. Dalam hal perdagangan narkoba, Indonesia menurut PBB masuk dalam segitiga emas perdagangan narkoba jenis metafetamin atau sabu dengan volume yang sangat tinggi.

Nasib hukum pun tak jauh berbeda. Amandemen UUD 2002 sarat dengan kepentingan asing. Hasilnya UU migas, UU SDA, UU Kelistrikan, UU KDRT, UU Terorisme sarat dengan kepentingan asing. 

Alhasil, bangsa dan negeri ini sebetulnya belum benar-benar merdeka. Belum benar-benar terbebas dari penjajahan. Secara fisik Indonesia memang merdeka. Namun secara pemikiran, politik, budaya, ekonomi dan lain-lain masih terjajah.

Kenapa Kita Masih Dijajah?

Penjajahan atau imperialisme pada hakikatnya adalah politik suatu negara untuk menguasai negara lain demi kepentingan pihak yang menguasai.  Hakikat penjajahan sama dengan perbudakan. Sama-sama merupakan eksploitasi satu pihak atas pihak lain secara zalim. 

Penjajahan gaya lama yaitu menjajah secara fisik untuk mengeksploitasi bangsa terjajah sudah lama ditinggalkan. Kaum Penjajah kemudian mengambil metode baru yaitu penjajahan non-fisik. Penjajahan model ini tidak mudah dirasakan oleh negara terjajah. Penjajahan ini mewujud dalam bentuk kontrol atas ekonomi, politik, pemikiran, budaya, hukum dan hankam negeri yang dijajah.

Sebagai contoh Pada 1-4 Agustus 2018 lalu digelar pertemuan ke-51 Para Menteri Luar Negeri Negara-begara ASEAN di Singapura. Pertemuan ini menjadi sarana  Indonesia bagi penguatan kerjasama di kawasan Indo-pasifik. Fokus kerjasama di bidang maritim, konektivitas dan agenda pembangunan berkesinambungan. Agenda tersebut sesungguhnya merupakan agenda global yang dilatarbelakangi kepentingan kekinian bagi keamanan dan ekonomi AS . AS ingin menahan ambisi China yang melaju dengan konsep Belt and Road Initiative. Dalam kepentingan ini Indonesia bersama ASEAN akan didrive AS untuk setia dengan code of conduct (kesepakatan) untuk mengamankan Laut Cina Selatan dari rongrongan dan akuisisi Cina.

Peristiwa  diatas hanya contoh kecil penjajahan gaya baru. Tujuannya tetap sama mengeksploitasi kekayaan negeri terjajah demi kesejahteraan dan kemakmuran kaum penjajah. Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitab, Mafaahim Siyaasiyah menyebutkan, penjajahan adalah metode baku negara-negara kapitalis untuk menyebarkan ideologi kapitalisme ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Indonesia saat ini mengadopsi ideologi kapitalisme dengan ide pokoknya sekulerisme, liberalisme, pluralisme dan demokrasi. Inilah penyebab kenapa Indonesia masih terjajah, karena Indonesia mengadopsi ideologi penjajah.

Agar Merdeka Secara Hakiki

Merdeka dalam pandangan Islam adalah terbebasnya manusia dari penghambaan  kepada sesama manusia atau kepada makhluk menuju penghambaan hanya kepada Allah semata. Misi Islam mewujudkan kemerdekaan hakiki terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Rab’i bin ‘Amir utusan Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Ia diutus untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rab’i bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’i bin ‘Amir menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengutus kami. Demi Allah. Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau, dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya, dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam”. (Ath-Thabari, Tariikh al Umam wa al-Muluuk, II/401)

Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada sesama manusia sekaligus mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah SWT. Islam datang untuk membebaskan manusia dari kesempitan dunia akibat penerapan aturan buatan manusia menuju kelapangan dunia (rahmatan lil ‘alamin) dengan menerapkan aturan Allah. Islam juga datang untuk membebaskan manusia dari kezaliman agama-agama dan sistem selain Islam menuju keadilan Islam.

Cita-cita  kemerdekaan yaitu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran akan terwujud saat syariat Islam diterapkan. Syariat mewajibkan negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok individual  seluruh warga negara berupa kebutuhan sandang, pangan dan perumahan per individu rakyat. Syariat juga mewajibkan negara untuk memenuhi kebutuhan kolektif strategis rakyat yaitu kesehatan, pendidikan dan keamanan secara gratis.

Jaminan tersebut pernah dilaksanakan secara nyata oleh para Khalifah terdahulu. Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tidak ada seorangpun yang dipandang berhak menerima zakat. Negara membangun  perumahan rakyat dan bangunan-bangunan besar yang dilengkapi dengan suplay air, dengan menyediakan 50.000 ekor unta untuk mendistribusikan air ke perumahan-perumahan rakyat. Khalifah Umar bin Khatab membangun Dar ad Daqiq (gudang tepung) tersebar di berbagai kota dan rute perjalanan yang biasa ditempuah para musafir, penuntut ilmu dan para pedagang.

Di bidang pendidikan, pendidikan diberikan secara gratis.  Sarana dan prasarana pendidikan disediakan oleh negara. Standar gaji guru yang mengajar anak-anak pada masa Pemerintahan Umar bin Khattab sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram). Jika dikonversi ke rupiah setara dengan 25 juta rupiah. 

Demikian pun dibidang sains dan teknologi, jaminan keadilan hukum, perlindungan terhadap warga non Muslim, keamanan, persatuan semua terealisasikan dengan gemilang.

Kesuksesan Islam membangun peradaban diakui oleh Carleton : “Peradaban Islam merupakan peradaban terbesar di dunia. Peradaban islam sanggup menciptakan negara adidaya dunia (superstate) terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain; dari iklim utara hingga iklim tropis dengan ratusan juta orang di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan suku” (Catleton : “Technoology, Business, and Our Way of Life : What Next).

Oleh karena itu  jika bangsa Indonesia ingin benar-benar merdeka tidak ada jalan lain kecuali  harus mencampakkan ideologi kapitalis sekuler dan menggantinya dengan ideologi Islam. Idiologi yang akan mengembalikan hak penetapan aturan hukum hanya kepada Allah dan RasulNya. Caranya dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam  kepemimpinan Islam yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah. Hanya dengan itu kemerdekaan hakiki akan terwujud dalam naungan ridha Allah SWT.

Allah SWT menegaskan dalam firmanNya “ Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan  kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS al-A’raf ayat 96).

Wallahu a’lam bi showab.







Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak